Indonesia di Persimpangan: Antara Megah di Luar dan Retak di Dalam Sebuah Renungan Budaya dan Bangsa

"Banyak jalan telah dibuka, tapi berapa yang bisa kita lalui bersama?"
- Catatan kecil di dinding trotoar kota

Indonesia sedang berdiri di titik genting sejarahnya, di mana kilau modernitas bersinar kuat, tapi gema nurani bangsanya perlahan memudar. Di langit kota-kota besar, gedung-gedung menjulang bak simbol pencapaian peradaban. Jalan tol dibangun seperti nadi yang menghubungkan ujung ke ujung, seakan ingin membuktikan: kita sedang bergerak, kita sedang tumbuh. Namun, di balik angka pertumbuhan dan visualisasi kemajuan itu, ada suara lirih dari perkampungan, dari ruang kelas reyot, dari ibu-ibu yang menakar beras dengan ragu, dari anak-anak yang memandang masa depan seperti teka-teki buram.

“Negara besar bukan yang memiliki gedung tertinggi, tapi yang tak membiarkan satu pun warganya merasa paling kecil.”
- Catatan Tengah Negeri

Indonesia memang sedang dibangun. Tapi untuk siapa? Untuk berapa persen dari kita? Apakah kemajuan ini membawa kita pada kemanusiaan yang lebih utuh, atau justru mengikis rasa memiliki terhadap negeri ini sendiri?

Pembangunan yang Tak Sempat Bertanya

Kita menyebutnya pembangunan nasional, tapi apakah pembangunan ini sempat bertanya pada rakyat kecil? Apakah ia mendengar suara para petani yang lahannya tergusur demi proyek strategis? Apakah ia singgah sejenak di kelas-kelas pelosok yang masih berkiblat pada papan tulis retak dan kapur yang menipis?

“Kemajuan tanpa keadilan adalah akselerasi menuju keterasingan.”
- Suara dari Jendela Desa

Masyarakat dibuat kagum oleh parade digitalisasi, oleh kemudahan transaksi dan transportasi, oleh kota pintar dan ekonomi kreatif. Tapi ketika jaringan internet belum menyentuh pulau-pulau kecil, dan sekolah masih mengandalkan lembar fotokopi pinjaman, apakah kita bisa menyebut ini kemajuan bersama?

Luka Budaya yang Tak Terobati

Budaya kita yang dulunya lentur namun tegas, lokal namun kosmopolit, kini berada di ambang pelarutan. Globalisasi tak lagi mengetuk, tapi menerobos masuk tanpa izin. Bahasa daerah meranggas, nilai-nilai gotong royong dikerdilkan menjadi jargon upacara, dan adat istiadat tersingkirkan oleh tren viral yang datang dan pergi seperti angin.

“Ketika kita kehilangan bahasa ibu, kita bukan hanya kehilangan kata, tapi juga kehilangan cara kita mencintai dunia.”
-
Risalah Peradaban yang Terputus

Sementara itu, pendidikan yang seharusnya menjadi benteng terakhir jati diri, seringkali malah sibuk menyalin kurikulum dari luar tanpa adaptasi kontekstual. Kita mengajarkan anak-anak tentang revolusi industri 4.0, tapi melupakan pelajaran mencintai tanah air secara utuh dan kritis.

Generasi yang Terjebak Antara Harapan dan Kecemasan

Anak-anak muda hari ini lahir dalam dunia yang bergerak cepat, penuh peluang, tapi juga penuh tekanan. Mereka belajar tentang startup, ekonomi hijau, bahkan kolonialisme digital. Tapi di saat yang sama, mereka cemas: akankah mereka punya ruang untuk hidup di tanah sendiri? Apakah perjuangan belajar dan berkarya akan dihargai, atau malah dibungkam oleh sistem yang tak peka?

“Kami tak takut kalah, kami takut tak diberi kesempatan untuk bermain adil.”
-
Keluh Pemuda di Kafe Pinggir Kota

Banyak dari mereka memilih pergi ke luar negeri, atau ke dalam dirinya sendiri. Yang pertama karena ingin hidup layak, yang kedua karena terlalu letih berhadapan dengan sistem yang tak berubah. Mereka bukan kehilangan nasionalisme, mereka kehilangan tempat berpijak di dalamnya.

Harapan yang Masih Ada, Tapi Perlu Ditegakkan

Meski demikian, harapan belum hilang. Ia bernafas di ruang-ruang kecil yang tak dilihat kamera: komunitas yang merawat arsip budaya, guru-guru yang mengajar dengan hati meski tak digaji tinggi, pemuda-pemudi yang memilih pulang dan membangun desa, seniman yang menyuarakan kritik lewat kanvas dan panggung, petani yang menanam padi sebagai bentuk perlawanan spiritual.

“Negara bisa dibangun oleh mesin, tapi bangsa hanya bisa tumbuh lewat cinta.”
- Dari Seorang Guru di Pinggiran Kalimantan

Kita harus mulai menata ulang arah. Pembangunan harus dikawal oleh keadilan sosial, oleh keberpihakan pada yang paling rapuh. Pendidikan harus membentuk manusia yang utuh: cerdas, kritis, berempati. Media harus berhenti hanya memuja sensasi, dan mulai mengangkat cerita tentang akar.

Menyusun Jalan yang Bisa Ditempuh Bersama

Indonesia punya banyak jalan. Tapi kita harus memilih jalan yang bisa ditempuh bersama, bukan hanya oleh yang punya akses dan kuasa. Jalan itu harus ramah bagi yang berjalan lambat, yang tertatih, yang tertinggal. Jalan itu harus cukup lebar untuk menampung keberagaman: suku, agama, gender, profesi, dan mimpi.

“Tak penting seberapa megah jalannya, jika hanya sedikit yang bisa melaluinya.”
- Pesan dari Lorong Kecil di Jakarta Timur

Inilah saatnya kita sebagai bangsa bertanya:
Apakah kita sedang membangun rumah bersama, atau sekadar membesarkan bangunan yang tak mampu menampung semua?

Indonesia, Sebuah Janji yang Harus Ditepati

Indonesia bukan sekadar entitas geografis. Ia adalah janji: bahwa semua manusia yang lahir di dalamnya punya hak yang sama untuk hidup, tumbuh, dan bermakna.

Jika hari ini kita merasa asing di negeri sendiri, mungkin karena janji itu terlalu sering ditunda, terlalu banyak dikorbankan demi angka-angka pertumbuhan yang dingin. Tapi janji itu masih bisa ditepati, jika kita kembali mengutamakan manusia, nilai, dan rasa sebagai dasar pembangunan.

“Indonesia tidak sedang kehilangan arah, ia hanya butuh diajak bicara oleh anak-anaknya sendiri.”
- Catatan Kecil untuk Masa Depan

 

 


Komentar