Indonesia: Sebuah Negeri yang Sedang Tergesa

Indonesia sedang sibuk membangun. Kota demi kota disulap menjadi pusat pertumbuhan baru. Jalan tol diresmikan hampir setiap bulan, bendungan dibuka seperti lomba-lomba, dan ibu kota baru digadang sebagai simbol peradaban masa depan. Di televisi, semuanya tampak megah dan menjanjikan. Tapi jika kita menyempatkan diam sejenak, menurunkan volume berita, dan membuka mata lebih dalam, ada banyak yang tidak disorot kamera. Di balik layar megahnya proyek nasional, ada lanskap sosial yang mulai retak, ketimpangan yang meluas, ketidaksetaraan yang mengakar, dan suara-suara rakyat kecil yang kian tak terdengar.

"Pembangunan tanpa mendengar adalah percepatan menuju keterasingan."

Di balik proyek-proyek besar, ada suara yang perlahan menghilang, suara petani yang kehilangan lahan karena alih fungsi, nelayan yang tak lagi bebas menjaring ikan karena lautnya sudah dibagi-bagi, masyarakat adat yang kehilangan hutan tempat mereka hidup turun-temurun, dan keluarga miskin yang makin terpinggirkan oleh kenaikan harga tanah dan kebutuhan dasar. Pembangunan memang penting, tapi jika dilakukan dengan menyingkirkan yang lemah, maka yang dibangun bukanlah negeri melainkan menara ketimpangan.

Indonesia sedang berdiri di titik genting sejarahnya, di mana kilau modernitas bersinar kuat, tapi gema nurani bangsanya perlahan memudar. Di langit kota-kota besar, gedung-gedung menjulang bak simbol pencapaian peradaban. Jalan tol dibangun seperti nadi yang menghubungkan ujung ke ujung, seakan ingin membuktikan: kita sedang bergerak, kita sedang tumbuh. Namun, di balik angka pertumbuhan dan visualisasi kemajuan itu, ada suara lirih dari perkampungan, dari ruang kelas reyot, dari ibu-ibu yang menakar beras dengan ragu, dari anak-anak yang memandang masa depan seperti teka-teki buram.   

Harga Naik, Harapan Turun

Tahun ini, harga bahan pokok melonjak tanpa permisi. Beras premium menyentuh harga yang bahkan dulu dianggap tak masuk akal. Minyak goreng naik-turun seperti mood politikus, dan telur pun ikut-ikutan mahal. Kenaikan ini bukan hanya soal statistik. Ini adalah soal kenyataan yang dirasakan oleh ibu-ibu rumah tangga yang harus mengurangi porsi masak, pedagang kecil yang harus menyiasati untung tipis, hingga pekerja serabutan yang gajinya tak pernah cukup mengejar harga pasar.

"Di negeri yang kaya, kemiskinan bukan takdir. Ia adalah kelalaian yang diulang."

Sementara itu, pendapatan masyarakat banyak yang stagnan. UMR naik hanya seujung kuku, tapi pengeluaran naik secepat detik di jam dinding. Pemerintah bicara soal pertumbuhan ekonomi yang "positif", tapi rakyat kecil tidak makan dari angka-angka. Mereka makan dari realita, dan realita itu kini makin mahal. Tidak semua orang hidup dari pertumbuhan ekonomi, karena tak semua orang diajak tumbuh bersama.

Politik: Panggung Tanpa Naskah Rakyat

Di Senayan, politik berjalan seperti sinetron tanpa jeda. Alih-alih bicara soal pangan, pendidikan, dan kesehatan, banyak waktu dihabiskan untuk drama kekuasaan. Isu-isu krusial tenggelam oleh manuver-manuver strategis yang hanya berorientasi pada kekuasaan, bukan pelayanan. Rakyat hanya menjadi latar, diperlukan saat kampanye, dilupakan setelah pemilu.

"Demokrasi kehilangan makna ketika suara rakyat hanya penting saat pemilu, tapi dibungkam saat mereka menagih janji."

Partai-partai tak lagi bicara ideologi, hanya strategi. Koalisi dibentuk bukan karena kesamaan visi, tapi demi peluang menang. Kandidat muncul bukan karena kapasitas, tapi karena elektabilitas. Janji politik terdengar indah, tapi lebih sering menjadi puing setelah kursi berhasil diraih. Sementara itu, rakyat menanti bukan siapa yang menang, tapi siapa yang benar-benar mendengar.

Pendidikan dan Kesehatan: Dua Sayap yang Timpang

Sekolah digital dicanangkan, tapi sinyal di banyak daerah masih bolak-balik hilang. Guru honorer masih digaji rendah, seringkali tak cukup bahkan untuk transportasi harian. Anak-anak belajar dalam ruang kelas yang plafonnya hampir roboh, dengan buku yang sudah usang sejak sepuluh tahun lalu. Pemerintah bicara tentang "generasi emas", tapi lupa memperbaiki pondasi tempat mereka ditempa.

"Apa gunanya mencetak generasi emas jika buku dan papan tulisnya masih penuh debu dan lubang?"

Di bidang kesehatan, rumah sakit penuh, tapi dokter dan perawat kewalahan. BPJS sering jadi tameng negara, tapi kenyataannya antrean panjang dan obat terbatas masih jadi masalah utama. Di pelosok, satu puskesmas harus melayani lima kecamatan. Bahkan untuk melahirkan dengan aman, banyak ibu harus menempuh puluhan kilometer. Negara seharusnya hadir dalam hal yang paling dasar: menjaga tubuh dan pikiran rakyatnya.

Krisis Lingkungan yang Dianggap Angin Lalu

Gunung-gunung digali, hutan-hutan ditebang, laut-laut tercemar. Indonesia bukan hanya sedang dibangun, ia juga sedang dikuras. Proyek tambang dibiarkan merajalela dengan dalih "investasi", sementara masyarakat di sekitarnya hidup dalam debu dan keraguan. Bencana ekologis datang bukan karena alam murka, tetapi karena manusia serakah.

"Manusia bisa membangun kota, tapi tak bisa menggantikan hutan yang hilang."

Iklim semakin tak bersahabat. Banjir di musim kemarau, kekeringan di musim hujan. Tapi isu lingkungan masih dianggap sekunder, kalah pamor dibanding isu politik dan ekonomi makro. Padahal, tanpa bumi yang sehat, apalah arti pertumbuhan? Pembangunan sejati bukan hanya tentang beton dan baja, tapi tentang menjaga keseimbangan yang telah diwariskan.

Menuju Arah yang Benar?

Pertanyaannya kini bukan hanya tentang seberapa jauh kita bisa membangun. Tapi untuk siapa semua ini dibangun? Apakah proyek-proyek raksasa itu akan sampai ke dapur rakyat biasa? Apakah mereka yang tinggal di rumah petak dan kampung pinggir kota akan turut merasakan manfaatnya? Atau semua ini hanya akan menjadi mimpi indah bagi segelintir orang di pusat kekuasaan?

"Negeri ini tak kekurangan dana, hanya kekurangan nurani."

Indonesia tidak kekurangan sumber daya. Yang kita butuhkan adalah hati yang berpihak dan keberanian untuk menolak ketimpangan. Kita memerlukan pemimpin yang tidak hanya fasih berpidato, tapi juga hadir di tengah-tengah rakyat, merasakan betul denyut kehidupan mereka. Yang dibutuhkan bukan hanya janji, tapi bukti.

Mungkin Kita Masih Bisa Menentukan Arah

Indonesia adalah negeri yang luar biasa. Kaya budaya, kaya alam, kaya sejarah. Tapi kekayaan itu bukan jaminan kesejahteraan jika tidak dikelola dengan benar. Di tengah segala tantangan ini, harapan tetap ada. Harapan itu tumbuh dari mahasiswa yang turun ke jalan, dari guru yang tetap mengajar meski digaji rendah, dari dokter di pedalaman, dari petani yang masih menanam, dan dari anak-anak yang masih berani bermimpi.

"Harapan tak akan mati selama masih ada yang berani bersuara."

Kita adalah bagian dari perubahan itu. Jangan biarkan suara kita teredam oleh hiruk-pikuk yang tidak menyentuh akar persoalan. Jangan biarkan negeri ini hanya dibangun untuk tampak hebat di mata dunia, tapi rapuh di dalam. Mari pastikan pembangunan ini adalah untuk semua, bukan untuk segelintir. Agar Indonesia tidak hanya tergesa membangun, tapi juga tepat dalam arah dan langkahnya.

Indonesia sedang tergesa. Tapi tergesa ke mana?
Jika rakyat ditinggal di belakang, untuk siapa semua ini diburu-buru?

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Indonesia di Persimpangan: Antara Megah di Luar dan Retak di Dalam Sebuah Renungan Budaya dan Bangsa

Menjadi Indonesia di Era Serba Instan: Saat Kita Sibuk Menjadi Siapa, dan Lupa Siapa Kita