Dari Gotong Royong ke Gontok-gontokan: Transformasi Sosial dan Erosi Empati di Masyarakat Modern
Pagi itu, langit desa masih berselimut kabut tipis. Suara ayam bersahutan, pintu-pintu kayu berderit, dan aroma kopi hitam mengepul dari cangkir-cangkir yang tak terburu-buru. Seorang ibu menanak nasi sambil berbagi cerita dengan tetangganya di dapur belakang. Di sawah, dua lelaki yang tak sedarah memanggul cangkul dan tawa yang sama ringannya. Tak ada perjanjian tertulis, tapi setiap orang tahu perannya. Di sana, gotong royong bukan jargon di baliho, ia adalah napas yang menghidupkan kampung. Namun kini, napas itu mulai sesak di hiruk-pikuk zaman.
Kini,
pemandangan itu perlahan menghilang. Kota tumbuh tinggi, jalan diperlebar,
teknologi menembus batas, tapi rasa antar manusia justru terasa menyempit. Kita
hidup berdekatan secara fisik, tapi berjauhan secara hati. Kita tahu banyak
tentang dunia, tapi makin sedikit tahu tentang tetangga kita sendiri.
Erosi
Rasa di Tengah Kemajuan
Modernitas
menawarkan kecepatan, efisiensi, dan mobilitas. Tapi di balik semua itu, ada
sesuatu yang pelan-pelan kita lepaskan: rasa saling menjaga. Menurut
Anthony Giddens (1991), masyarakat modern mengalami disembedding, terlepasnya
hubungan sosial dari ruang dan waktu. Kita bisa berbicara dengan orang di
London, tapi tak kenal nama orang di sebelah rumah.
Kita mudah
sekali menyapa orang asing di Instagram, tapi canggung saat berpapasan dengan
tetangga di lorong rumah. Kita terbiasa membaca ratusan komentar, tapi lupa
menyimak isi hati orang terdekat. Semuanya cepat, semuanya terburu. Dan di
tengah itu semua, empati perlahan jadi barang mahal.
Dalam
budaya Bugis, dikenal istilah “sipakatau”, saling memanusiakan. Nilai
ini bukan sekadar filosofi, tapi cara hidup: melihat orang lain sebagai sesama,
bukan pesaing. Namun kini, alih-alih sipakatau, kita justru lebih sering
sipake'do, saling menjatuhkan dalam kata dan sikap.
Dari
Kolektif ke Kompetitif
Dulu,
keberhasilan seseorang dianggap sebagai keberhasilan komunitas. Kini,
keberhasilan jadi ajang pamer dan kompetisi. Kita lebih sibuk menunjukkan siapa
yang paling dulu sampai, bukan siapa yang saling mengantar.
Padahal
menurut Daniel Goleman, “Empati adalah dasar dari semua keterampilan sosial
yang penting.” Tanpa empati, relasi berubah menjadi transaksional.
Pertemanan jadi followers, keluarga jadi grup WA yang hanya aktif saat lebaran.
Kita bicara, tapi tak saling terhubung.
Sosiolog
Emile Durkheim menjelaskan bahwa masyarakat modern bergerak dari solidaritas
mekanik ke solidaritas organik. Artinya, ikatan emosional makin tergantikan
oleh ikatan struktural. Kita saling tergantung secara sistem, tapi tidak saling
mengenal secara hati.
Media
Sosial: Cermin dan Cakaran
Media social
yang katanya jembatan malah jadi jurang. Di sana, empati diuji. Orang curhat,
dibalas dengan: “Cari perhatian.” Orang jujur soal kelelahan mental, dibalas
dengan: “Kurang bersyukur.” Kita lebih senang melihat drama daripada membantu
meredakannya.
Kita hidup
di zaman ketika orang takut salah bicara, karena terlalu banyak yang siap
mencerca. Tapi sangat sedikit yang benar-benar siap bertanya, “Kamu kenapa?”
Seperti kata Sherry Turkle dalam Reclaiming Conversation, “Kita
terhubung, tapi kesepian.”
Di masa
lalu, orang tua kita mengajarkan: “Kalau makan enak, bagi-bagi. Kalau hati
susah, berbagi cerita.” Tapi hari ini? Kita berbagi foto makanan, tapi
enggan membuka perasaan. Kita update lokasi, tapi menyembunyikan luka.
Dari
Gotong Royong ke Gontok-gontokan
Kata
“gotong royong” dulunya sakral. Kini, mulai terasa seperti klise. Dalam banyak
diskusi sosial, kita lebih sering debat daripada saling mendengarkan. Perbedaan
pendapat dianggap ancaman. Orang yang beda pilihan, langsung dijauhi. Kita
lupa, bahwa perbedaan seharusnya memperkaya, bukan memecah.
Di
politik, di agama, bahkan dalam urusan pribadi, terlalu mudah kita
gontok-gontokan. Padahal orang bijak bilang: “Perdebatan yang tidak
dilandasi kasih, hanyalah pertengkaran yang dibungkus argumen.” Kita sibuk
bicara soal kebenaran, tapi lupa cara menyampaikannya dengan welas asih.
Kembali
ke Rasa
Apa yang
bisa kita lakukan? Jawabannya tidak rumit, tapi butuh niat. Kita bisa mulai
dari yang paling dasar: “menjadi manusia yang hadir untuk manusia lain”.
Sesimple, belajar mendengar tanpa menyela, menjawab dengan hati, bukan hanya
dengan logika, hadir bukan hanya saat senang, tapi juga saat gelap.
Dalam
budaya Jawa ada pepatah: “Ajining diri saka lathi.” Harga diri seseorang
dilihat dari lisannya. Maka mari mulai dari lisan yang lembut, dari sikap yang
merangkul, dari tindakan kecil yang memberi rasa aman.
Kita tak
butuh menjadi pahlawan nasional untuk menciptakan perubahan. Cukup jadi manusia
yang bisa dipercaya untuk menangis di depanmu tanpa takut dijudge. Jadi teman
yang tidak menggurui. Jadi tetangga yang mau menyapa.
Jika seseorang di sekitarmu sedang dalam kesusahan, apakah ia merasa cukup nyaman untuk datang padamu? Dan jika tidak… apakah kamu yakin kita masih hidup dalam budaya yang saling menopang?
Indonesia bisa bangga dengan pencapaian-pencapaian besar. Tapi yang membuat negeri ini layak ditinggali bukan hanya gedung pencakar langit atau teknologi, melainkan keberadaan satu sama lain. Karena pada akhirnya, kita tidak butuh tempat yang sempurna, kita hanya butuh manusia yang bisa jadi tempat pulang.
Komentar
Posting Komentar