Indonesia: Surga yang Luka, Tanah yang Menangis

Indonesia adalah negeri yang diberkahi dengan segala bentuk kekayaan alam, laut, hutan, tambang, gunung, dan tanah yang subur. Para pujangga menyebutnya "tanah surga yang jatuh ke bumi". Namun, dalam bayang-bayang kemegahan itu, kita menyaksikan ironi yang menyakitkan: negeri yang dulu dipuja karena keindahan alaminya, kini perlahan-lahan runtuh dalam luka ekologis yang diciptakan oleh tangan-tangan manusia sendiri.

Bumi kita bukan sekadar diam, ia sedang memberikan peringatan. Peringatan melalui banjir yang datang tiba-tiba, tanah longsor di wilayah perbukitan, udara penuh asap di musim kemarau, hingga panas yang membuat tanah pecah dan tak bisa ditanami. Semua ini bukan lagi kebetulan atau siklus alam biasa, melainkan tanda dari eksploitasi yang brutal dan tata kelola yang tak adil.

“Kerusakan lingkungan adalah bentuk kekerasan yang paling sunyi.”
Ngugi wa Thiong’o

Mari kita bedah luka-luka ini satu per satu. Bukan untuk mengutuk masa lalu, tetapi untuk menyalakan lentera kesadaran agar kita tak terus-menerus hidup sebagai bangsa yang menggali kuburnya sendiri.

Dari Hijau Menjadi Abu

Hutan tropis Indonesia adalah salah satu penopang iklim dunia. Namun saat ini, mereka menyusut setiap tahun akibat pembukaan lahan secara ilegal, kebakaran, dan ekspansi perkebunan sawit. Di Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan, kebakaran lahan telah menjadi bencana tahunan yang tak kunjung selesai. Kabut asap menyelimuti kota-kota, bandara ditutup, sekolah diliburkan, dan jutaan rakyat dipaksa menghirup udara beracun.

Kasus besar terjadi pada tahun 2015, ketika kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia menimbulkan kerugian ekonomi lebih dari 221 triliun rupiah. Organisasi Greenpeace menyebutkan bahwa lebih dari 100.000 titik api terdeteksi, sebagian besar berasal dari konsesi perusahaan besar. Ironisnya, perusahaan-perusahaan itu jarang dijerat hukum secara serius. Mereka tetap beroperasi, bahkan menerima insentif dalam bentuk perizinan baru.

Efek jangka panjang dari hilangnya hutan tak hanya soal asap. Ia juga mengganggu daur air, memperparah krisis iklim, dan menghancurkan habitat satwa langka seperti orangutan, harimau Sumatera, dan badak Jawa. Dalam waktu singkat, Indonesia berubah dari negara mega-biodiversitas menjadi negara darurat ekologis.

“Jika hutan adalah paru-paru dunia, maka saat ini dunia sedang sesak napas karena ulah kita sendiri.”
- Prof. Emil Salim

Tambang-Tambang yang Membelah Tanah Ibu

Dari tanah yang subur, manusia menemukan logam, batu bara, dan mineral yang disebut sebagai “harta karun” pembangunan. Namun di Indonesia, harta karun itu tak jatuh ke tangan rakyat, melainkan kepada korporasi tambang. Kita menyaksikan bagaimana bukit-bukit di Papua dikuliti demi emas dan tembaga oleh raksasa tambang, sementara masyarakat adat di sekitarnya hidup dalam kemiskinan struktural.

Contoh paling mencolok adalah Tambang Grasberg di Papua, salah satu tambang emas terbesar di dunia. Operasinya sejak tahun 1970-an telah mengubah wajah pegunungan menjadi kawah terbuka raksasa. Limbah tambang dibuang ke sungai dan mencemari ekosistem dalam radius puluhan kilometer. Masyarakat Amungme dan Kamoro kehilangan akses terhadap tanah adat mereka, yang bagi mereka bukan sekadar ruang ekonomi, tetapi ruang spiritual.

Di tempat lain seperti Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, tambang nikel berkembang pesat atas nama transisi energi global. Ironisnya, tambang yang diklaim untuk kendaraan listrik justru memusnahkan hutan dan mencemari laut. Petani dan nelayan kehilangan lahan garapan dan sumber mata pencaharian. Mereka berhadapan dengan aparat jika protes, dan dipinggirkan dari proses pengambilan keputusan.

“Kita berlari menuju masa depan hijau dengan kendaraan listrik, tapi membunuh hutan untuk membuat baterainya.”
Yuyun Indradi, Trend Asia

Pulau-pulau yang Hilang, Pesisir yang Tenggelam

Laut adalah wajah lain dari Indonesia. Namun garis pantainya yang dulu menjadi tempat bertumbuhnya komunitas pesisir, kini semakin menyempit. Reklamasi, penambangan pasir laut, dan naiknya permukaan air akibat krisis iklim menyebabkan banyak pulau dan desa pesisir terendam. Bencana tak lagi datang dari luar, tetapi dari kebijakan yang mengabaikan keberlanjutan.

Salah satu contoh nyata terjadi di Desa Bedono, Demak, Jawa Tengah. Desa ini perlahan tenggelam akibat abrasi dan naiknya permukaan laut yang diperparah oleh penebangan mangrove besar-besaran. Hari ini, rumah warga tinggal kenangan. Yang tersisa hanya makam dan masjid tua yang setengah tenggelam. Ini bukan fiksi distopia, tapi realitas yang terjadi di pesisir utara Jawa.

Di kawasan Teluk Jakarta, proyek reklamasi juga menuai banyak protes. Nelayan kehilangan ruang tangkap, komunitas pesisir tergusur, dan ekosistem laut terganggu. Semua dilakukan demi proyek real estate mewah yang dijual atas nama “kemajuan”. Kita menyaksikan kontradiksi antara pembangunan dan keadilan ekologi yang makin lebar.

“Laut bukan tempat sampah, bukan juga halaman belakang kota-kota besar. Ia adalah rumah bagi jutaan kehidupan dan budaya.”
Walhi Jakarta

Ke Mana Kita Melangkah?

Indonesia menghadapi pilihan historis: terus bertahan dalam logika pembangunan yang mengorbankan lingkungan, atau berani menempuh jalan baru menuju keberlanjutan sejati. Pemerintah sering menggembar-gemborkan istilah “ekonomi hijau” dan “hilirisasi industri,” tetapi implementasinya masih kerap kontradiktif dengan prinsip keadilan ekologis.

Ketika negara memberi karpet merah pada investasi tambang dan sawit, tapi gagal melindungi hak petani dan masyarakat adat, itu bukan pembangunan inklusif. Kita butuh redefinisi makna kemajuan: bukan sekadar pertumbuhan ekonomi, tetapi keseimbangan antara manusia, alam, dan kebudayaan. Kemajuan yang tak menyisakan bencana.

Langkah perbaikan harus dimulai dari akar: moratorium izin baru di kawasan hutan, restorasi lahan rusak, perlindungan wilayah adat, dan tata ruang berbasis ekosistem. Lebih dari itu, kesadaran kolektif masyarakat harus dibangkitkan kembali: bahwa bumi bukan milik kita, melainkan titipan untuk generasi setelah kita.

“Kita bukan pewaris bumi dari nenek moyang, tetapi penyewa dari anak cucu.”
- Pepatah Indian Amerika

Suara Tanah yang Perlu Didengar

Indonesia, dengan segala kemegahannya, sedang berada di ambang transformasi besar. Apakah kita memilih menjadi bangsa yang serakah dan tak tahu batas? Atau menjadi penjaga bumi yang bijak, yang membangun bukan hanya untuk hari ini, tapi juga untuk tujuh generasi mendatang?

Tanah ini menangis bukan karena tak sanggup menopang kita. Ia menangis karena kita tak pernah berhenti melukainya. Jika kita terus menutup telinga pada suara bumi, maka kelak, bumi pun akan menutup pintunya untuk kita.

“Alam memberi tanda bukan untuk ditakuti, tetapi untuk dipahami dan dihargai.”
- Radhar Panca Dahana

Lalu, Sampai Kapan Kita Akan Berpura-Pura?

Sebelum tangan kita kembali menandatangani izin tambang, sebelum alat berat kembali menggali perut bumi, sebelum sawit kembali menggantikan hutan, cobalah diam sejenak dan dengarkan:

Apakah anak-anakmu akan tahu aroma hutan seperti apa?

Apakah cucumu kelak akan melihat laut yang masih biru?

Apakah kamu sanggup tidur dengan tenang saat tahu bahwa setiap batu bata rumah mewahmu berasal dari luka yang diciptakan di gunung atau desa orang lain?

Apakah kamu pikir bumi ini milikmu seorang, sehingga kamu bebas mengambil tanpa memberi?

Apakah kamu sadar bahwa kamu sedang menukar kekayaan sesaat dengan bencana abadi?

Apakah kamu lupa bahwa Tuhan menitipkan bumi untuk dijaga, bukan dijarah?

Dan jika kelak bumi ini hancur, apakah kamu siap mempertanggungjawabkan setiap tetes air yang kau cemari, setiap pohon yang kau tebang, setiap nelayan dan petani yang kau gusur, setiap makhluk yang kau bisukan?

“Bukan kita yang akan hancur lebih dulu. Tapi anak-anak kita. Dan sejarah akan mencatat: kita tahu semua ini salah, tapi kita memilih diam.”
Penutup dari Nurani yang Terluka

Jika pertanyaan ini membuat dadamu berat, itu tandanya nurani masih hidup. Maka pulanglah, bukan ke rumah betonmu, tetapi ke kesadaran bahwa kita adalah bagian dari bumi, bukan penguasanya.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Indonesia di Persimpangan: Antara Megah di Luar dan Retak di Dalam Sebuah Renungan Budaya dan Bangsa

Menjadi Indonesia di Era Serba Instan: Saat Kita Sibuk Menjadi Siapa, dan Lupa Siapa Kita

Indonesia: Sebuah Negeri yang Sedang Tergesa