Membedah Akar, Bukan Sekadar Luka: Saatnya Mengganti Kompas Moral Bangsa
Hampir 80 tahun Indonesia merdeka, tetapi ada satu bentuk penjajahan yang tidak pernah
benar-benar pergi: KORUPSI. Ia tidak datang dari luar, tidak membawa senjata,
tidak mengibarkan bendera asing. Korupsi tumbuh di dalam tubuh bangsa sendiri, menyusup
lewat celah jabatan, proyek, prosedur, dan budaya diam yang mengakar. Ini bukan
sekadar persoalan hukum, tetapi persoalan peradaban. Bangsa yang dulu berjuang
dengan darah untuk kemerdekaan kini dijual secara diam-diam oleh anak bangsanya
sendiri.
"Korupsi
bukan hanya masalah hukum, tapi soal peradaban." - Anies Baswedan
Saatnya
kita tidak hanya mengobati luka yang tampak di permukaan, tetapi juga menggali
hingga ke akar penyebabnya. Kita harus melihat korupsi sebagai sebuah ekosistem
yang rusak, tempat nilai-nilai dasar bangsa kita tergantikan oleh keserakahan
dan kepentingan jangka pendek. Korupsi tidak akan pernah bisa diberantas jika
kita hanya sibuk menambal permukaannya tanpa berani menyentuh fondasi yang
telah retak.
Korupsi
sebagai Cermin Patah Peradaban
Korupsi
adalah indikator paling nyata bahwa sebuah bangsa sedang kehilangan arah moral.
Di Indonesia, jabatan publik kerap dianggap sebagai alat untuk memperkaya diri,
bukan sebagai sarana pengabdian. Ketika kekuasaan berubah menjadi instrumen
transaksi, maka nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan pelayanan publik
dikalahkan oleh kepentingan pribadi dan kelompok. Korupsi bukan hanya tentang
siapa yang mencuri, tetapi juga tentang siapa yang membiarkan.
"Korupsi
merusak logika tentang benar dan salah, bukan hanya pada mereka yang
melakukannya, tapi juga pada mereka yang melihat dan membiarkannya." - Amartya Sen
Budaya
permisif terhadap korupsi memperparah situasi. Praktik suap dan gratifikasi
dianggap sebagai "minyak pelancar" yang biasa terjadi dalam
birokrasi. Bahkan sebagian masyarakat justru menyalahkan sistem, bukan
pelakunya. Ini adalah bentuk degradasi moral yang sangat berbahaya, karena
membentuk generasi yang melihat korupsi bukan sebagai kejahatan, tapi sebagai
peluang.
Lebih mengkhawatirkan lagi, survei KPK menunjukkan bahwa sebagian besar pelajar dan mahasiswa memiliki toleransi tinggi terhadap korupsi, asalkan tidak tertangkap. Ketika generasi muda sudah terkontaminasi oleh mentalitas seperti ini, maka korupsi akan terus beregenerasi tanpa henti. Artinya, kita tidak hanya kehilangan uang negara, tetapi kehilangan harapan untuk masa depan yang lebih bersih.
Luka
yang Nyata: Kasus demi Kasus
Kasus-kasus
korupsi besar di Indonesia bukan hanya menunjukkan kelemahan hukum, tapi juga
kehancuran nurani. Proyek e-KTP, misalnya, dirancang untuk membangun sistem
identitas digital nasional. Namun proyek ini dikorupsi hingga merugikan negara
lebih dari Rp2,3 triliun. Akibatnya, tidak hanya uang rakyat yang hilang,
tetapi juga kepercayaan publik terhadap teknologi dan pemerintah.
Hal yang
lebih menyakitkan terjadi saat pandemi COVID-19 melanda. Di tengah krisis, dana
bantuan sosial yang seharusnya menjadi penyangga rakyat malah dijadikan alat
memperkaya diri oleh pejabat tinggi. Uang rakyat yang dikumpulkan dari pajak
dan pinjaman negara digunakan untuk korupsi. Ini bukan lagi soal hukum, tapi
tentang kemanusiaan yang hilang.
Kasus
Jiwasraya dan Asabri memperlihatkan bagaimana korupsi bisa menghancurkan masa
depan ribuan orang. Dana pensiun dan investasi masyarakat dikorupsi melalui
manipulasi saham, menyebabkan kerugian puluhan triliun rupiah. Para korban
adalah pekerja, pensiunan, dan warga biasa yang kehilangan rasa aman finansial.
"Korupsi
pada masa krisis adalah kejahatan terhadap kemanusiaan." - Kofi Annan
Semua
kasus ini memiliki pola yang sama: kekuasaan tanpa kontrol, sistem yang lemah,
dan masyarakat yang apatis. Jika kita tidak menanggapi setiap kasus dengan
serius, maka skandal berikutnya hanya tinggal menunggu waktu.
Dampak
Sistemik: Negara Tumbuh dengan Akar Busuk
Korupsi
bukan hanya menyebabkan kerugian finansial, tetapi juga merusak sistem secara
menyeluruh. Pelayanan publik menjadi buruk karena anggaran dikorupsi. Sekolah
kekurangan fasilitas, rumah sakit kekurangan alat, dan jalan raya rusak karena
dana pembangunan dipotong di setiap lini. Rakyat miskin yang paling merasakan
dampaknya.
Korupsi
juga memperlebar ketimpangan. Mereka yang memiliki kekuasaan dan koneksi bisa
mendapatkan layanan terbaik, sementara rakyat biasa harus antre dan membayar
lebih. Hal ini menciptakan rasa ketidakadilan yang dalam, dan lambat laun
memicu ketidakpercayaan terhadap negara.
Dalam
sistem politik, korupsi membuat pemilu menjadi ajang belanja suara. Kandidat
yang punya dana besar membeli dukungan, bukan menawarkan gagasan. Maka yang
terpilih bukan yang terbaik, tapi yang terkaya. Ini menjadikan demokrasi
kehilangan esensinya.
"Jika
hukum tidak adil, rakyat akan menciptakan keadilannya sendiri." - Anonim
Lemahnya
penegakan hukum atas korupsi mengokohkan persepsi publik bahwa pelaku korupsi
tak tersentuh. Hukuman ringan, fasilitas mewah di penjara, hingga remisi yang
terlalu mudah menciptakan pesan bahwa kejahatan bisa dinegosiasikan.
Hukuman
sebagai Cermin Peradaban: Sebuah Alegori
Sudah
saatnya kita merefleksikan kembali konsep hukuman. Penjara bukan hanya tempat
menghukum, tapi juga tempat mendidik dan menyadarkan. Dalam hal korupsi,
dibutuhkan pendekatan yang lebih filosofis, hukuman yang mampu mengguncang
kesadaran pelaku, bukan hanya membatasi fisiknya.
Bayangkan
sebuah penjara vertikal dengan 200 lantai. Setiap lantai dihuni dua orang
tahanan. Di tengah ruangan, terdapat platform makanan yang naik dari lantai 1
ke lantai 200. Di lantai dasar (lantai 1), makanan tersaji dalam bentuk
terbaik: daging, buah, kue, cemilan, dan beberapa minuman dan makanan terenak.
Namun saat sampai di lantai atas, yang tersisa hanyalah remah dan tulang
belulang.
Posisi
lantai diacak setiap bulan. Hari ini kamu bisa makan mewah di lantai 5, besok
mungkin kamu kelaparan di lantai 199. Di sinilah para koruptor belajar bahwa
ketidakadilan bukan hanya teori, tapi rasa yang nyata: rasa lapar, rasa kecewa,
rasa putus asa, semua yang pernah mereka wariskan pada rakyat ketika berkuasa.
"Orang
miskin tak lapar karena dunia kurang makanan, tapi karena segelintir orang tak
tahu berbagi."
- Mahatma Gandhi
Alegori
ini bukan untuk diterapkan secara harfiah, melainkan sebagai cermin reflektif
bahwa hukuman harus memberi efek jera, sekaligus pelajaran hidup. Para koruptor
harus merasakan dampak dari sistem yang timpang, sistem yang pernah mereka
ciptakan sendiri.
Menuju
Revolusi Integritas
Perang
melawan korupsi tidak akan berhasil jika hanya mengandalkan penindakan. Kita
membutuhkan gerakan kultural, revolusi nilai yang dimulai dari rumah, sekolah,
media, hingga ruang publik. Pendidikan antikorupsi harus menjadi bagian dari
kurikulum karakter bangsa, bukan sekadar teori, tapi lewat praktik nyata.
Integritas
tidak tumbuh dari aturan, tapi dari keteladanan. Guru yang menolak sogokan,
pejabat yang hidup sederhana, jurnalis yang berani mengungkap skandal, mereka
semua adalah pion dalam revolusi ini. Jika orang baik tidak diberi ruang, maka
ruang itu akan dipenuhi oleh oportunis.
Kita harus
menciptakan budaya malu. Malu untuk menyuap, malu untuk menerima suap, dan malu
untuk diam ketika melihat ketidakadilan. Budaya ini harus dibangun pelan-pelan,
lewat pendidikan, media, dan gerakan sosial. Tidak ada revolusi besar tanpa
dimulai dari kesadaran kecil.
"Korupsi
tidak akan hilang hanya dengan mencabut rumput. Kita harus mencabut akarnya." - Abraham Samad
Lentera
Kesadaran
Indonesia
tidak kekurangan orang baik. Yang kurang hanyalah keberanian untuk memberi
mereka tempat. Tulisan ini bukan untuk mengutuk masa lalu, tetapi untuk
menyalakan lentera kesadaran. Bahwa kita semua punya peran dalam mencabut akar
korupsi.
Jika satu
tulisan bisa membuat satu koruptor menyesal, jika satu pelajar bisa memilih
jujur karena membaca ini, jika satu pemilih bisa menolak uang karena memahami
nilai, maka revolusi itu sudah dimulai. Tak perlu menunggu pemimpin, karena
sejatinya, revolusi terbesar adalah yang dimulai dari hati yang tersadar.
"Sejarah
akan menilai kita bukan dari banyaknya gedung yang kita bangun, tetapi dari
nilai-nilai yang berani kita pertahankan." - Catatan Seorang Rakyat Biasa
Komentar
Posting Komentar