Menggugat Dunia yang Tidak Pernah Netral
Kita hidup dalam dunia yang menyusun peta kekuasaan bukan berdasarkan potensi manusia, tapi berdasarkan jenis kelamin. Dunia tidak lahir netral, ia dibentuk oleh tafsir budaya, tafsir agama, tafsir sejarah yang hampir seluruhnya ditulis oleh laki-laki, untuk laki-laki, dengan standar laki-laki. Dalam dunia ini, perempuan bukan hanya tidak diutamakan, tapi bahkan tidak dianggap sebagai subjek penuh. Mereka dibungkam oleh adat, didiamkan oleh kebijakan, dan dijinakkan oleh sistem pendidikan yang memuliakan ketundukan sebagai kebajikan utama.
“Representasi
dunia, sebagaimana dunia itu sendiri, adalah hasil karya laki-laki; mereka
menggambarkannya dari sudut pandang mereka sendiri, lalu menyebutnya sebagai
kebenaran mutlak.” - Simone
de Beauvoir
UNDP
(2024) mencatat bahwa indeks ketimpangan gender Indonesia masih tinggi
dibanding negara-negara lain di Asia Tenggara. Perempuan mendominasi angka
putus sekolah, memiliki akses terbatas terhadap pekerjaan formal, dan menjadi
korban kekerasan yang dibungkam atas nama keluarga dan budaya. Tapi ketimpangan
yang paling mengkhawatirkan adalah yang tidak terlihat yang disampaikan dalam
dongeng sebelum tidur, diinternalisasi dalam ruang kelas, dan dilegalkan dalam
kebijakan yang bias maskulinitas.
“Cara
paling umum seseorang kehilangan kekuasaan adalah dengan percaya bahwa ia
memang tidak memilikinya.” - Alice
Walker
Kesetaraan
gender bukanlah agenda satu golongan. Ia adalah proyek kemanusiaan. Ketika
setengah populasi dunia dikerdilkan, maka seluruh peradaban mundur. Karena
sesungguhnya, perjuangan ini bukan tentang perempuan melawan laki-laki. Ini
tentang bersama-sama menggugat dunia yang selama ini tidak pernah netral.
“Bukan
perbedaan yang memecah belah kita, tapi ketidakmampuan kita menerima dan
merayakan perbedaan itu.” - Audre
Lorde
Perempuan
Tidak Minta Dikasihani, Mereka Minta Diakui
Selama
berabad-abad, perempuan diberi ruang sepanjang mereka tetap tunduk. Mereka
dipuji sebagai ibu bangsa, asal mula kehidupan, pelindung moral. Tapi saat
mereka mulai menyuarakan hak, dunia mendadak gelisah. Perempuan yang berbicara
dianggap melawan kodrat. Yang cerdas dicurigai, yang tegas dicap arogan. Dunia
ini nyaman ketika perempuan menangis, bukan ketika mereka memimpin.
“Perempuan
yang patuh jarang sekali tercatat dalam sejarah.” - Laurel Thatcher Ulrich
Padahal,
yang diperjuangkan bukanlah belas kasihan, tapi pengakuan. Perempuan tidak
ingin disayang seperti anak kecil, tapi dihormati sebagai subjek yang berpikir.
Ruth Bader Ginsburg pernah berkata, “Saya tidak meminta perlakuan istimewa bagi
jenis kelamin saya. Saya hanya meminta agar kaki mereka tidak terus menekan
leher kami.”
Stereotip
yang dilekatkan pada Perempuan, lemah, emosional, tidak rasional, bukanlah
refleksi dari realitas, melainkan hasil konstruksi sosial yang menindas. Jika
mereka diberi kesempatan yang setara, diberi ruang untuk tumbuh, dunia akan
terkejut melihat besarnya potensi yang selama ini terkubur.
“Feminisme
adalah gagasan radikal bahwa perempuan adalah manusia.” - Marie Shear
Kesetaraan
bukan soal menggulingkan laki-laki, tapi mengoreksi sejarah. Dan sejarah akan
mencatat: perempuan tidak pernah meminta dimuliakan, mereka hanya meminta agar
dunia berhenti menyembunyikan kekuatan mereka.
Rasionalitas
dan Emosi: Keduanya Perlu, dan Perempuan Punya Keduanya
Mitos yang
mengakar menyatakan bahwa perempuan terlalu emosional untuk memimpin. Padahal,
dalam dunia yang kompleks dan penuh ketidakpastian, keputusan terbaik lahir
dari sintesis antara logika dan empati. Justru, pemimpin yang terlalu rasional
tanpa rasa akan membuat kebijakan yang mengabaikan manusia.
“Masa
depan sangat tergantung pada apa yang kita lakukan hari ini. Gerakan hanyalah
orang-orang yang bergerak.” - Gloria
Steinem
Marie
Curie membuktikan bahwa kecerdasan tidak mengenal gender. Angela Merkel
menyelesaikan krisis dengan ketenangan dan strategi. Sri Mulyani merancang
kebijakan ekonomi dengan presisi dan integritas. Lalu bagaimana mungkin masih
ada yang berkata bahwa logika adalah wilayah eksklusif laki-laki?
Sosiolog
Sylvia Walby menjelaskan bahwa diskriminasi terhadap perempuan seringkali
berbentuk simbolik, melalui narasi-narasi yang membingkai perempuan sebagai
pelengkap. Diskriminasi ini tidak hanya terjadi di kantor, tapi juga di ruang
tamu, sekolah, dan bahkan dalam mimbar ibadah.
“Anda
tidak harus membenci laki-laki untuk mendukung perempuan.” - Jane Galvin Lewis
Jika emosi
adalah kelemahan, maka dunia ini akan runtuh oleh kebijakan dingin. Jika logika
adalah satu-satunya ukuran, maka kita akan kehilangan sisi manusia. Perempuan
membawa keduanya dan itulah sebabnya mereka bukan hanya layak berada di ruang
keputusan, tapi dibutuhkan.
Kepemimpinan
Bukan Warisan Genetik, Tapi Buah Kesempatan
Kepemimpinan
sering dianggap sebagai sifat bawaan laki-laki. Perempuan, katanya, lebih cocok
menjadi pengikut. Klaim ini bukan hanya salah, tapi berbahaya. Ia membuat dunia
menolak potensi setengah dari populasinya hanya karena tubuh mereka berbeda.
Kemampuan
memimpin tidak diwariskan oleh kromosom, tetapi dibentuk oleh sistem. Jika
sejak kecil anak laki-laki diajari bicara dan anak perempuan diminta diam, maka
ketika dewasa, yang tampil bukan yang paling cakap, tapi yang paling diberi
ruang. Cut Nyak Dhien, Hypatia, Kartini, mereka memimpin bukan karena diberi,
tapi karena merebut.
“Kekuasaan
tidak akan diberikan padamu. Kau harus mengambilnya sendiri.” - Beyonce
Ketika
laki-laki merasa terancam oleh perempuan yang naik ke panggung, itu bukan
karena perempuan merebut hak yang bukan miliknya. Tapi karena selama ini
laki-laki menikmati panggung yang dibangun dari ketimpangan.
“Perempuan
itu seperti kantung teh; kita tidak tahu seberapa kuat mereka sampai dicelupkan
ke dalam air panas.” - Eleanor
Roosevelt
Dunia
tidak butuh lagi pemimpin yang hanya bisa memerintah. Dunia butuh pemimpin yang
bisa mendengar, memahami, dan merangkul dan perempuan mampu melakukan itu
semua.
Ruang
Publik Tidak Buta Gender, Tapi Sering Kali Buta Nurani
Perempuan
kerap ditanya, “Kenapa kamu di sini?” seolah keberadaan mereka di ruang publik
adalah pengecualian. Politik, sains, teknologi, semuanya terlalu lama
dimonopoli oleh satu suara. Dan ketika perempuan berbicara, dunia mencibir,
bukan menyimak.
Namun
perempuan tidak datang untuk membuat ruang baru. Mereka datang untuk menuntut
kembali ruang yang telah lama dicuri. Seperti kata Malala Yousafzai, “Kita
semua tidak akan bisa berhasil jika setengah dari kita terus ditinggalkan.”
Perempuan
membawa pengalaman, empati, dan kebijaksanaan yang tidak dimiliki dunia yang
dibangun oleh laki-laki saja. Mereka tidak hanya bicara soal "isu
perempuan". Mereka bicara soal masa depan, soal planet, soal perdamaian.
Mereka bicara dengan bahasa kehidupan.
“Ujian
sejati sebuah peradaban adalah bagaimana ia memperlakukan yang paling tak
berdaya.” - Pearl
S. Buck
Dan ketika
perempuan berdiri di ruang publik, jangan lagi kita bertanya mengapa mereka ada
di sana. Tanyakan, mengapa selama ini kita membiarkan mereka tetap di balik
layar.
Laki-Laki
Bijak Tidak Takut Kehilangan Dominasi
Kesetaraan
bukan berarti laki-laki turun dari panggung. Tapi memangku dunia bersama.
Kesetaraan bukan tentang merebut tahta, tapi berbagi tanggung jawab. Dunia yang
setara membebaskan semua manusia, baik perempuan maupun laki-laki, dari
peran-peran sempit yang membelenggu.
Laki-laki
sejati tidak merasa terancam oleh perempuan yang cerdas, berani, dan mandiri.
Justru ia merasa terhormat bisa berdampingan dengan pikiran dan kekuatan itu.
bell hooks berkata, “Cinta dan dominasi tidak bisa hidup berdampingan.” Maka
jika Anda mencintai perempuan, mengapa Anda takut melihatnya tumbuh?
Barack
Obama berkata, “Saya sepenuhnya yakin, jika selama dua tahun seluruh negara
di dunia dipimpin oleh perempuan, dunia akan jauh lebih baik.’’ Dan bukan karena perempuan lebih hebat
dari laki-laki, tapi karena mereka membawa sesuatu yang selama ini hilang:
keadilan dalam keberagaman.
“Kesetaraan
gender bukan masalah perempuan saja, ini adalah persoalan peradaban. Dunia yang
setara adalah dunia yang adil bagi semua.” - Tema Hari Perempuan Internasional, 2020
Dunia
tidak butuh lebih banyak laki-laki yang berkuasa. Dunia butuh lebih banyak
manusia yang berani memimpin dengan nurani. Maka pertanyaannya:
Wahai
laki-laki, jika Anda benar merasa unggul, mengapa Anda takut berbagi panggung
dengan perempuan?
Komentar
Posting Komentar