Negara yang Tak Hafal Luka: Misteri-Misteri yang Ditinggalkan Sejarah dan Diteriakkan Perempuan Biasa
Aku bukan aktivis, bukan akademisi, bukan orang yang tampil di layar debat politik. Aku hanya perempuan biasa, yang hidup dalam ritme dapur, kasur, dan layar ponsel yang lebih sering menampilkan hiburan daripada kebenaran. Tapi dari sudut sunyi kamar inilah, aku menyusun potongan demi potongan luka negeri. Bukan karena aku pintar, tapi karena aku punya mata dan hati yang tak bisa menutup diri dari jerit yang tak pernah dijawab.
Negeri ini
pandai membuat slogan, tapi gagap saat ditanya: siapa pembunuh Munir? Di mana
Wiji Thukul? Siapa penembak di Semanggi? Mengapa jenazah di Kanjuruhan hanya
dihitung, tapi tak dihargai? Ketika negara tidak hafal lukanya sendiri, maka
sejarah bukan jalan untuk belajar, melainkan labirin pengulangan yang
menyakitkan.
Aku
menyusun narasi ini bukan karena tahu semuanya. Tapi karena aku muak menjadi
penonton. Setiap luka yang didiamkan adalah api kecil yang dibiarkan menyala
dalam diam. Dan kita, rakyat kecil, hidup dalam rumah-rumah rapuh yang bisa
terbakar kapan saja oleh kebohongan yang dibiarkan menghitam.
Perempuan
sepertiku yang katanya harus di rumah saja, bisa jadi saksi sejarah. Karena
kami tahu bahwa keadilan tak turun dari langit, tapi harus terus dipanggil,
bahkan dengan suara paling lirih sekalipun. Sebab sunyi, bila dikumpulkan, bisa
menggema lebih keras dari megafon kekuasaan.
Dan inilah
daftar luka yang tak pernah dibereskan: kisah-kisah yang lebih sering dibisukan
daripada diselesaikan. Bukan dongeng kelam, tapi fakta-fakta yang bertebaran
dan tak pernah dijemput oleh keberanian negara. Aku menuliskannya satu per satu
bukan karena aku hafal seluruh datanya, tapi karena aku mengingat perihnya.
Karena sebagai perempuan biasa, aku percaya: ingatan adalah bentuk perlawanan
paling setia saat keadilan tak pernah datang.
Misteri-misteri
ini bukan tentang kehilangan jawaban, tapi tentang keberanian kita menuntutnya.
Mari kita buka satu per satu. Bukan untuk mengutuk masa lalu, tapi agar kita
tak terus-menerus hidup sebagai bangsa yang menumpuk luka di bawah karpet
kemajuan.
Tragedi
1965: Sunyi yang Disengaja
Almarhum
Kakekku pernah bercerita bahwa di tahun 1965, orang bisa dibunuh hanya karena
membaca buku yang salah. Atau karena mengenal orang yang salah. Puluhan ribu
ditangkap tanpa pengadilan, banyak di antaranya perempuan. Mereka dilecehkan,
disiksa, diberi cap “komunis” seperti kutukan yang diturunkan pada anak
cucunya. Tapi tak pernah ada kebenaran yang diungkap penuh, hanya narasi
tunggal yang diajarkan di sekolah: bahwa mereka layak dibantai.
Aku
membaca buku-buku sejarah alternatif, sembunyi-sembunyi, seperti sedang
melakukan dosa. Karena hingga hari ini, menyebut 1965 secara terbuka masih bisa
membuatmu dikucilkan. Negara menciptakan hantu, lalu membunuh manusia karena
takut pada bayangannya sendiri. Hingga kini, siapa yang memerintah pembantaian
itu? Siapa yang menyusun daftar hitam? Semuanya tenggelam dalam kata sakti:
“demi menjaga stabilitas.”
Tragedi
ini adalah luka nasional yang tak kunjung diobati. Sebagian dari para korban
tak pernah diadili, tidak diberi kesempatan bicara, bahkan tak diberi nisan.
Mereka menjadi catatan kaki dari sejarah yang ditulis oleh mereka yang menang.
Dan kemenangan itu dibangun di atas kuburan massal yang disembunyikan.
Beberapa
tahun lalu, kuburan massal ditemukan di berbagai daerah: Jawa Tengah, Bali,
Nusa Tenggara. Tapi tak ada penyelidikan resmi, tak ada rekonsiliasi
sungguh-sungguh. Bahkan saat para penyintas minta maaf hanya agar bisa hidup
tenang, negara tak pernah minta maaf kembali.
Aku,
seorang perempuan biasa, merasa miris melihat bangsa yang begitu cepat
memaafkan pelaku kekerasan, tapi begitu lambat memberi ruang bagi korban untuk
bicara. Sementara itu, anak-anak mereka tumbuh dengan stigma. Ditolak bekerja,
ditolak menikah, ditolak berwarganegara seutuhnya.
Narasi
1965 dikunci oleh propaganda film dan buku pelajaran. Tapi di balik itu, ada
ribuan perempuan yang ditelanjangi dan disiksa di kamp tahanan.
Perempuan-perempuan yang sampai hari ini namanya hanya disebut saat ada seminar
kecil, bukan di forum-forum kenegaraan.
“Kita
bukan tak tahu kebenaran. Kita hanya terlalu takut membukanya karena ia
memanggil terlalu banyak hantu.” - Perempuan
yang Menatap Hantu-Hantu Tak Diadili
Tragedi
Tanjung Priok (1984)
Mereka
datang ke masjid bukan untuk merancang makar, tapi untuk mengadu gelisah.
Masjid itu, yang seharusnya menjadi rumah damai, berubah menjadi tempat
penghabisan. Pada September 1984, di Tanjung Priok, suara takbir bersahutan
dengan suara letusan senjata. Mereka yang berkumpul bukan prajurit, bukan
pemberontak bersenjata. Mereka hanya warga sipil, umat biasa yang
mempertanyakan kebijakan negara soal pendaftaran takmir masjid. Sebuah
keresahan wajar dalam negara demokrasi. Tapi di mata penguasa waktu itu,
pertanyaan bisa dianggap ancaman.
Dan
seperti biasa, negara lebih cepat mengangkat senjata daripada mendengar. Ketika
peluru mulai ditembakkan, tidak ada ruang untuk klarifikasi, tidak ada jeda
untuk damai. Puluhan orang roboh. Sebagian tewas di tempat. Mayat-mayat
dikabarkan dibuang ke laut, atau dikubur tanpa nama, tanpa doa. Mereka lenyap
dari catatan, tapi tidak dari ingatan keluarga. Tidak ada prosesi pemakaman,
tidak ada pelukan terakhir. Hanya duka yang menggantung di udara, dan
pertanyaan yang tak pernah dijawab: “Mengapa?”
Negara
menyebut itu sebagai "kesalahan prosedur." Tapi bagaimana mungkin
sebuah kesalahan menelan begitu banyak nyawa dan tak membawa seorang pun ke
pengadilan? Seiring waktu, upaya rekonsiliasi dijalankan, pengadilan HAM berat
digelar dua dekade kemudian. Tapi hasilnya memalukan. Para pelaku dibiarkan
melenggang. Sebagian malah naik pangkat. Hukum menjadi alat cuci darah, bukan
alat penghapus luka. Seolah nyawa warga hanya angka, dan angka bisa dihapus
bila tak menguntungkan.
Komnas HAM
telah menyatakan ada pelanggaran HAM berat. Para saksi bersaksi. Para korban
yang selamat buka suara. Tapi Kejaksaan Agung menolak menyidik lebih dalam.
Alasan mereka dingin dan kering: kurang bukti. Ironis. Karena bukti tak pernah
benar-benar dicari. Negara punya cara untuk tak melihat, dan cara itu bernama
impunitas. Di negeri ini, peluru bisa lebih dipercaya daripada pengakuan
rakyat.
Sebagai
perempuan, aku sering bertanya-tanya, bagaimana jika ayahku ada di sana saat
itu? Bagaimana jika ibuku sedang berdoa, atau adikku sedang bermain di halaman
masjid itu? Aku mungkin tak bisa melakukan apa pun kecuali menangis diam-diam
di pojok rumah, di sela siaran berita yang tak pernah menyebut nama korban.
Karena kami tahu, suara kami, suara perempuan biasa selalu dianggap terlalu
lirih untuk menembus dinding kekuasaan.
Tapi suara
lirih pun bisa menjadi nyaring jika tak berhenti diulang. Tragedi Tanjung Priok
bukan sekadar sejarah kelam, ia adalah pengingat bahwa negara, sekuat apapun ia
tampak, bisa menjadi sangat rapuh jika dibangun di atas kebohongan dan darah
rakyat sendiri. Ia adalah alarm bahwa kekuasaan tanpa kontrol bisa berubah
menjadi mesin pembunuh yang tak mengenal ruang suci.
Dan yang
lebih menyesakkan: hingga hari ini, luka itu belum benar-benar dirawat. Tidak
ada permintaan maaf resmi dari negara yang benar-benar menyentuh hati korban.
Tidak ada restitusi yang layak. Tidak ada pengakuan yang jujur. Seolah mereka
yang mati tak pernah hidup. Seolah yang bersalah adalah mereka yang mengadu,
bukan mereka yang menembak. Seolah manusia yang berdoa di masjid itu lebih
murah harganya dari bayonet yang dihunus oleh negara.
Karena
itu, aku menulis ini. Bukan sebagai sejarawan. Bukan sebagai aktivis. Tapi
sebagai seorang anak bangsa yang percaya bahwa tidak semua luka harus membusuk
dalam diam. Tragedi Tanjung Priok mungkin telah ditutup dalam dokumen negara,
tapi ia masih hidup dalam dada orang-orang yang percaya bahwa keadilan bukan
kemewahan. Ia adalah hak. Dan hak itu, suatu hari nanti, harus ditegakkan meski
dunia terus pura-pura lupa.
Pembunuhan
Marsinah (1993)
Marsinah
adalah buruh. Perempuan. Bersuara. Dan itu cukup untuk membuatnya dibunuh.
Tahun 1993, ia ditemukan tewas secara mengenaskan di hutan, tubuhnya penuh
memar dan tanda penyiksaan berat. Sebelumnya, ia menuntut keadilan atas PHK
sepihak dan memperjuangkan hak-hak buruh di pabrik jam tempatnya bekerja. Dalam
sistem yang anti-kritik dan otoriter, suara kecil seperti milik Marsinah
dianggap terlalu nyaring untuk dibiarkan hidup.
Sebagai
perempuan dan pekerja, aku melihat wajah Marsinah dalam cermin. Ia tidak jauh.
Ia adalah kita yang bangun pagi, lembur malam, tetap miskin, dan dipaksa
bersyukur. Ia adalah cermin dari bagaimana negara melihat buruh sebagai angka
statistik, bukan manusia. Ketika buruh bersuara, negara menjawab dengan teror.
Ketika buruh berorganisasi, negara menuduh makar. Dan ketika buruh perempuan
bicara, negara membunuhnya dengan cara paling kejam.
Kasus
Marsinah sempat disidangkan. Tapi seperti banyak kasus lain di negeri ini,
semua aktor kunci lolos. Yang dibawa ke pengadilan hanya pelaku kelas bawah
yang tampak seperti boneka yang siap dikorbankan. Tidak ada pertanggungjawaban
dari militer, meskipun semua jejak mengarah ke sana. Negara memberikan drama
pengadilan tanpa menjawab siapa dalangnya, dan itu menandakan satu hal:
pembunuhan terhadap buruh perempuan dianggap sepele jika ia membahayakan
kepentingan elite.
Setiap
kali ada Hari Buruh, namanya dielu-elukan. Tapi itu hanya jadi bagian dari seremoni.
Spanduk, slogan, panggung, dan pidato, semuanya menggunakannya sebagai simbol.
Tapi simbol tidak cukup. Marsinah butuh keadilan, bukan pengingat tahunan. Di
negeri ini, simbol seringkali hanya pelarian dari rasa bersalah kolektif yang
tak ditindak. Dan ketika simbol diromantisasi tanpa disertai tindakan, ia
berubah menjadi bentuk perbudakan baru terhadap sejarah.
Aku
bertanya dalam diam, jika hari ini aku bicara soal ketidakadilan tempatku
bekerja, apakah nasibku akan seperti Marsinah? Apakah tubuhku juga akan
ditemukan dalam kondisi yang tak bisa dikenali? Karena itulah kami, perempuan
pekerja, belajar menahan suara. Bukan karena takut salah, tapi karena tahu
dunia ini sering kali lebih kejam terhadap perempuan yang berani.
Struktur
patriarki dan kapitalisme di negeri ini tidak hanya menindas secara ekonomi,
tapi juga secara biologis dan psikologis. Perempuan seperti Marsinah tidak
hanya dibunuh karena menuntut hak, tapi karena berani keluar dari konstruksi
yang ditetapkan: tunduk, diam, patuh. Ketika ia menuntut kesetaraan dan upah
layak, ia juga sedang meruntuhkan sistem yang selama ini dikendalikan oleh
suara laki-laki dan modal.
Kisah
Marsinah tidak selesai di tahun 1993. Ia hidup dalam setiap perempuan buruh
yang takut bicara. Ia hadir di pabrik-pabrik outsourcing, di ruang gaji yang
tak sepadan, di kontrak kerja yang penuh jebakan. Dan selama pelakunya belum
diadili, negara ini masih punya utang yang tak akan lunas hanya dengan monumen
dan bunga.
“Di
negeri yang menolak mendengar perempuan buruh, kebenaran selalu dihitung berdasarkan
keuntungan, bukan keberanian.” - Perempuan
yang Disamakan dengan Angka Produksi
Tragedi
Semanggi I dan II (1998–1999)
Di ruang
kamarku yang sempit, aku memutar ulang potongan berita tahun 1998 dan 1999 di
saluran YouTube. Mahasiswa berlarian, suara tembakan terdengar samar. Kamera
berguncang. Seorang reporter berteriak histeris, “Mereka menembak!” Lalu layar
berganti: peti jenazah, ibu yang menangis, spanduk bertuliskan "Reformasi
Dikorbankan." Semanggi bukan sekadar jembatan, tapi saksi bisu dari sebuah
negeri yang gagal menjaga anak-anaknya sendiri. Dan yang lebih menyakitkan: ia
menjadi pengingat bahwa perjuangan kadang dibayar dengan peluru, bukan
perubahan.
Tragedi
Semanggi I dan II mencerminkan betapa ringkihnya komitmen negara terhadap
demokrasi yang digadang-gadang. Dua tragedi, dua gelombang darah, dan tak satu
pun yang tuntas. Mahasiswa ditembak karena meminta kebebasan sipil dan
supremasi sipil atas militer. Mereka menolak dwifungsi ABRI, menolak
militerisme yang mencengkeram sistem pemerintahan. Tapi jawaban negara adalah
timah panas. Dan hingga kini, peluru itu belum pernah benar-benar diarahkan
pada meja pengadilan.
Komnas HAM
sempat menyelidiki, mengumpulkan bukti, mewawancarai saksi. Tapi hasilnya tak
pernah dibuka di ruang yang paling penting: parlemen. Mereka yang duduk di
kursi empuk Senayan tampak terlalu nyaman untuk mengungkit luka lama. Dan yang
lebih menyakitkan lagi, beberapa nama yang diduga bertanggung jawab atas
tragedi ini justru terus melaju dalam karier politik dan militer mereka. Tak
tersentuh. Tak tergoyahkan.
Aku hanya
perempuan biasa. Tapi ketika nanti aku punya anak, dan ia kelak menjadi
mahasiswa yang kritis, yang turun ke jalan menuntut keadilan, apa jaminan bahwa
ia akan kembali dalam keadaan utuh? Apa yang bisa kupegang dari sebuah
demokrasi yang tidak bisa menjamin keselamatan anak-anaknya sendiri? Demokrasi
tanpa keadilan hanya panggung kosong. Yang berbicara hanyalah mereka yang punya
mikrofon, yang mati adalah mereka yang berteriak tanpa pengeras suara.
Negeri ini
pandai membuat monumen, tapi pelupa dalam mempertahankan ingatan. Nama-nama
korban Semanggi tercatat di batu peringatan, di bunga tabur setiap bulan Mei,
di poster-poster aksi mahasiswa. Tapi tak pernah diperjuangkan dalam ruang
sidang. Jika keadilan hanya berhenti pada prasasti, maka hukum tak lebih dari
ukiran indah tapi mati. Dan bila pengadilan hanya diisi oleh formalitas, maka
keadilan bukan lagi tujuan, melainkan hiasan.
Yang
paling menyakitkan adalah melihat bagaimana generasi muda negeri ini diwarisi
trauma, tapi bukan pengetahuan. Sejarah reformasi diringkas dalam buku teks
yang steril, seolah peluru tidak pernah ditembakkan, dan seolah darah mahasiswa
tidak pernah mengalir di jalan-jalan ibukota. Ini bukan sekadar pelupaan, tapi
pengkhianatan terhadap ingatan kolektif bangsa.
Lebih dari
dua dekade telah berlalu, tapi nyala lilin untuk para korban tetap tak
menemukan jawab. Ini bukan soal masa lalu. Ini soal keberanian hari ini untuk
tidak mengulang kesalahan yang sama. Negara seharusnya berdiri di pihak mereka
yang ditembak, bukan di balik tameng pelaku. Karena jika tidak, maka apa
bedanya negara dengan rezim yang dulu mereka lawan?
"Negara
yang membiarkan darah anak mudanya mengering di aspal, adalah negara yang
memilih kekuasaan di atas nurani." - Perempuan yang Menulis dari Tepian Mayat Demokrasi
Aktivis
yang Hilang: Wiji Thukul dan Kawan-kawan
Namanya
masih digumamkan dalam puisi: Wiji Thukul. Seorang penyair jalanan yang
tak bersenjata, kecuali kata-kata yang menyala. Tapi justru dari nyalanya
itulah kekuasaan merasa terancam. Di negeri ini, kekuatan syair lebih ditakuti
ketimbang deru senapan; karena puisi yang merangsang kesadaran rakyat dianggap
lebih berbahaya daripada peluru yang membungkam tubuh. Wiji Thukul menghilang
menjelang reformasi 1998, seperti juga Herman Hendrawan, Petrus Bimo, dan para
aktivis lainnya. Mereka tak pernah kembali. Mereka bukan sekadar korban
penculikan. Mereka adalah simbol dari ketakutan negara terhadap rakyat yang
berpikir.
Negara
yang seharusnya menjamin hak hidup dan berekspresi, justru menjadi pelaku utama
pembungkaman. Data Komnas HAM telah menyatakan bahwa kasus penghilangan paksa
para aktivis reformasi merupakan pelanggaran HAM berat. Namun hingga hari ini,
laporan-laporan itu tak lebih dari tumpukan dokumen di rak lembaga negara.
Tidak ada pengadilan. Tidak ada pertanggungjawaban. Bahkan pengakuan pun
dihindari. Dalam administrasi kenegaraan, mereka tidak ada. Tapi dalam batin
rakyat yang sadar, mereka tidak pernah absen.
Menonton
teater kecil berjudul "Nyanyian yang Hilang" di YouTube, aku
seperti dihantam kenyataan kedua kalinya. Teater itu bukan sekadar pertunjukan,
melainkan bentuk ingatan yang dipaksakan bertahan di tengah upaya pelupaan
sistemik. Anak-anak muda dalam naskah itu yang memerankan Wiji dan kawan-kawan berbicara
dalam bahasa luka, bahasa sejarah yang belum selesai. Karya seni semacam ini
menjadi kanal alternatif yang merawat kesadaran kritis, saat negara memilih
untuk menutup mata. Ia menghidupkan kembali suara yang coba dibungkam, dan
mengingatkan bahwa hilangnya para aktivis bukan bagian dari masa lalu,
melainkan utang sejarah yang belum dibayar.
Kita hidup
dalam negara yang gemar menyanyikan lagu kebangsaan, tapi memaksa para
penyairnya bungkam. Yang mengabadikan pahlawan di buku pelajaran, tapi mengubur
hidup-hidup mereka yang memperjuangkan nurani. Ketika negara bisa tidur nyenyak
sementara warganya tak pernah pulang, maka pertanyaan etis harus diajukan:
sejauh mana legitimasi kekuasaan dibangun di atas hilangnya nyawa dan
kebenaran? Dalam etika politik, kekuasaan tanpa pertanggungjawaban bukan hanya
cacat moral, tetapi juga ancaman bagi demokrasi itu sendiri.
Seorang
filsuf Jerman, Walter Benjamin, pernah berkata bahwa "setiap dokumen
kebudayaan juga merupakan dokumen barbarisme." Artinya, di balik setiap
kemajuan suatu bangsa, ada jejak kekerasan yang sering disembunyikan. Hilangnya
Wiji Thukul dan kawan-kawan bukan hanya tentang orang yang dicuri hidupnya,
tetapi tentang sistem yang membiarkan pelaku merasa tak perlu bertanggung
jawab. Pelanggaran HAM berat yang tak pernah dituntaskan adalah cermin dari
negara yang masih memelihara impunitas.
Ketika
anak dan istri para aktivis yang hilang menua dalam ketidakpastian, publik
perlahan melupakan. Lupa yang dibentuk oleh kelelahan, distraksi media, dan
strategi diam yang terencana. Di tengah euforia pembangunan dan narasi
stabilitas, negara justru menghapus jejak luka demi menjaga citra. Tapi tanpa
kejujuran sejarah, tak akan pernah ada keadilan. Dan tanpa keadilan, kita hanya
hidup di tengah demokrasi semu yang memilih ingatan mana yang boleh diingat,
dan suara mana yang layak didengarkan.
Sebagai
perempuan biasa, aku hanya bisa bertanya dengan getir: bagaimana negara bisa
bangga merayakan hari kemerdekaan, sementara masih ada warga yang tak pernah
ditemukan? Bagaimana bisa kita menyebut negeri ini "merdeka", jika
kebenaran masih dikurung di lemari arsip, dan para penyairnya tak diberi ruang
bicara? Kebenaran bukan sekadar fakta, tapi keberanian untuk menatap masa lalu
tanpa takut pada bayangan sendiri. Dan bangsa yang takut pada kebenaran, adalah
bangsa yang sedang membunuh masa depannya sendiri.
“Negara
ini bukan tidak tahu siapa yang menculik, tapi terlalu takut jika pengakuan
akan membuka pintu kebenaran yang tak bisa dikunci lagi.” - Perempuan
yang Menggugat Para Penjaga Rahasia Berdarah
Pembunuhan
Munir Said Thalib (2004)
Munir Said
Thalib bukan sekadar nama. Ia adalah simbol keberanian sipil dalam menghadapi
otoritas yang terlalu lama terbiasa bekerja dalam gelap. Ia adalah suara bagi
mereka yang hilang paksa, disiksa tanpa proses, dan dibungkam oleh negara.
Ketika Munir dibunuh dengan racun arsenik dalam penerbangannya ke Belanda pada
tahun 2004, itu bukan hanya kejahatan terhadap individu, tapi juga terhadap
cita-cita keadilan. Pembunuhan ini menciptakan preseden bahwa bahkan di ruang
udara internasional yang seharusnya netral dan steril, negara bisa tetap
melanjutkan pembunuhan politiknya, membungkusnya sebagai “insiden individu.”
Namun,
logika publik tidak bisa terus-menerus dibodohi. Kasus Munir terlalu rapi untuk
disebut sebagai tindakan satu orang. Pollycarpus memang dihukum, tetapi dari
berbagai penyelidikan, termasuk Tim Pencari Fakta independen, muncul kesimpulan
bahwa pembunuhan ini memiliki jejak kuat keterlibatan institusi negara,
khususnya badan intelijen. Fakta bahwa Munir sempat diikuti, bahwa jadwal
penerbangannya bisa diakses oleh individu tertentu, dan bahwa prosedur standar
diabaikan, mengindikasikan sebuah operasi yang terencana dan terstruktur. Namun
hingga kini, pengadilan tidak pernah menyentuh otak intelektualnya. Hukum
berhenti di batas yang nyaman bagi kekuasaan.
Inilah
yang membuat kita harus bicara bukan hanya tentang Munir sebagai korban, tapi
Munir sebagai titik krusial dalam sejarah kegagalan sistem hukum Indonesia.
Sebab jika hukum tunduk pada kekuasaan, maka keadilan berubah menjadi
sandiwara. Seperti yang dikatakan Munir sendiri: “Hukum itu tajam ke bawah,
tapi tumpul ke atas.” Ironisnya, setelah kematiannya, justru kata-katanya makin
terbukti. Setiap peringatan kematian Munir menjadi peringatan kolektif bagi
demokrasi yang terus disabotase oleh elite negara sendiri.
Sebagai
warga biasa, khususnya sebagai perempuan yang bukan bagian dari lingkaran
kekuasaan atau aktivisme, saya merasa getir. Sebab jika pejuang sekuat Munir
bisa dibunuh sedemikian sunyi, bagaimana dengan rakyat biasa yang mencoba
bersuara? Jika kebenaran bisa diracuni, dan kebenaran itu tidak dibela secara
terang, maka siapa pun bisa jadi korban berikutnya. Munir menjadi lambang bahwa
keadilan bisa dibunuh dengan sistematis, dan pembunuhnya bisa tetap berdasi,
mengisi layar televisi, dan berbicara tentang "moral kebangsaan."
Kasus
Munir adalah bentuk nyata pelanggaran hak asasi manusia berat yang seharusnya
tidak bisa kedaluwarsa. Tapi negara lebih sering bernegosiasi dengan lupa
daripada berkomitmen pada ingatan. Pemerintah dari satu rezim ke rezim lain
mewarisi ketakutan terhadap kebenaran yang bisa membuka borok institusional.
Maka kasus Munir bukan hanya soal siapa yang meracik racun, tapi juga tentang
siapa yang mengizinkan racun itu menjadi bagian dari sistem.
Dalam
dunia hukum internasional, pembunuhan terhadap aktivis hak asasi manusia
dianggap sebagai ancaman terhadap peradaban demokratis. Amnesty International,
Human Rights Watch, dan lembaga-lembaga HAM global lainnya telah lama mendesak
pengusutan tuntas terhadap kasus ini. Namun tekanan itu selalu dibalas dengan
birokrasi yang lamban dan bahasa diplomatik yang hampa. Indonesia mempermalukan
prinsipnya sendiri ketika tidak bisa memastikan keadilan bagi warganya yang
dibunuh karena memperjuangkan konstitusi itu sendiri.
Karena
itu, selama kasus Munir belum menemukan ujung keadilan yang sejati, kita tidak
sedang bicara tentang sejarah masa lalu, tapi tentang ancaman hari ini. Negara
yang gagal mengusut pembunuh Munir adalah negara yang membiarkan ruang publik
terus beracun oleh ketakutan. Dan seperti kata bijak yang sering disitir:
“Keberanian terbesar adalah tetap hidup untuk melawan ketidakadilan.” Munir
mungkin telah tiada, tetapi pertanyaan tentang keadilan tidak bisa dikebumikan.
Ia akan terus menggema, sampai bangsa ini memutuskan untuk tidak lagi takut
pada kebenaran.
"Keadilan
di negeri ini seperti kereta api yang mogok di tengah rel: semua tahu arahnya,
tapi tak satu pun berani mendorong." - Perempuan yang Berteriak di Depan Lokomotif yang
Dibiarkan Berkarat
Kasus
Salim Kancil (2015)
Salim
Kancil bukan nama besar. Ia bukan tokoh nasional, bukan pemimpin partai, bukan
orang yang sering muncul di layar kaca. Ia hanyalah seorang petani dari
Lumajang yang mencintai desanya dan tanah tempat ia menanam harapan. Tapi cinta
itulah yang membunuhnya. Ketika tambang pasir ilegal menggerus kampungnya,
Salim memilih melawan. Ia tahu risikonya. Tapi ia percaya, bahwa diam berarti
setuju. Dan bagi orang kecil yang hidupnya bergantung pada alam, kehilangan
tanah berarti kehilangan masa depan.
Pembunuhan
Salim bukan pembunuhan spontan. Ia adalah hasil dari sistem yang lama dibiarkan
busuk: hubungan gelap antara pengusaha tambang, aparat penegak hukum, dan
pejabat daerah. Kekuasaan dan modal bersatu dalam kesepakatan sunyi yang
melahirkan kekerasan terhadap warga yang bersuara. Tubuh Salim diseret,
disiksa, dan dibunuh secara brutal di tengah siang bolong, disaksikan banyak
orang. Ini bukan sekadar pembunuhan, ini adalah eksekusi terhadap suara rakyat
yang dianggap berbahaya karena jujur.
Setelah
kematiannya, beberapa pelaku dihukum. Tapi hukum tidak menjangkau struktur
kekuasaan yang menjadi mesin dari semua kekejaman itu. Para dalang, penyandang
dana, dan pejabat yang memberi restu tetap aman di balik kantor ber-AC,
berdalih bahwa mereka tidak tahu. Negara datang terlambat, seperti biasa lebih
cepat memadamkan reaksi publik daripada memutus akar kejahatan. Salim pun
berubah dari manusia menjadi simbol. Namanya diperingati, tetapi tanah yang ia
perjuangkan masih digerus. Maka kematiannya tak pernah benar-benar ditebus.
Sebagai
perempuan, aku membayangkan bagaimana jika Salim adalah ayahku. Yang pulang
dari sawah dengan tubuh penuh luka karena menolak tambang. Dan aku harus tetap
tinggal di rumah yang kini dikelilingi truk-truk pasir, suara mesin pengeruk,
dan udara yang tak lagi bersih. Apa yang bisa kulakukan? Menangis di balik
tirai jendela? Menunggu media melirik, lalu pergi? Perempuan seperti aku tahu,
bahwa hukum tidak hidup dari pasal-pasal, tetapi dari siapa yang punya suara
dan siapa yang punya perlindungan. Dan kami, warga desa, punya sangat sedikit
dari keduanya.
Yang lebih
menyakitkan, kasus ini perlahan hilang dari radar media. Hari-hari berlalu, dan
tambang terus berjalan. Pemerintah daerah menyebut aktivitas itu sebagai bagian
dari “pengembangan wilayah.” Mereka menyamakan tanah rakyat dengan proyek,
menyamakan alam dengan angka-angka pendapatan. Padahal mereka lupa, pembangunan
yang tumbuh di atas darah rakyat bukan kemajuan, tapi kekejaman yang disulap
menjadi statistik.
Kematian
Salim Kancil seharusnya menjadi titik balik. Tapi yang terjadi justru
sebaliknya. Di banyak tempat lain di Indonesia, Kendeng, Wadas, Rembang, Papua,
banyak Salim-Salim baru bermunculan. Mereka bukan kriminal, bukan radikal.
Mereka hanya ingin menjaga tanah, sungai, dan gunung yang menjadi sumber hidup
komunitasnya. Tapi ketika mereka bersuara, yang datang bukan perlindungan,
melainkan intimidasi. Jika mereka mati, siapa yang akan tahu? Siapa yang akan
mencatat nama mereka, selain keluarga yang tertinggal?
Kasus
Salim menunjukkan bahwa di negeri ini, orang yang peduli pada alam bisa
dianggap musuh pembangunan. Negara yang seharusnya menjadi penyeimbang antara
rakyat dan modal, justru sering memilih berdiri di sisi yang menguntungkan
secara ekonomi. Hukum kehilangan arah ketika berhadapan dengan uang. Dan
keadilan menjadi mewah bagi mereka yang tidak punya koneksi politik.
Maka kita
patut bertanya: “Apa makna ‘alam Indonesia’ jika yang menjaganya justru dikubur
oleh pengusaha?” Selama tanah lebih dihargai karena hasil tambangnya daripada
karena kehidupan yang tumbuh di atasnya, maka tragedi seperti Salim akan terus
berulang. Dan kita, jika memilih diam, adalah bagian dari sistem yang
membiarkannya terjadi.
Tragedi
Wasior dan Wamena (2001–2003)
Di
atas tanah Papua, suara burung cendrawasih kalah nyaring oleh deru helikopter
militer. Di Wasior (2001) dan Wamena (2003), kekerasan bukan sekadar insiden,
tapi bagian dari pola. Aparat keamanan yang seharusnya menjaga warga datang
dengan senjata, membakar rumah, menangkap sembarang orang, dan menyisakan
trauma massal. Puluhan warga sipil tewas, ratusan lainnya ditahan dan disiksa.
Semua itu terjadi bukan karena perang, tapi karena Papua terus dicurigai
sebagai musuh di dalam negeri.
Narasi
resmi pemerintah menyebut kejadian itu sebagai "penertiban" atau
"operasi keamanan." Tapi siapa yang benar-benar ditertibkan? Laporan
dari KontraS dan Amnesty International mencatat bahwa korban sebagian besar
adalah warga sipil tak bersenjata: petani, guru, anak-anak sekolah, bahkan
tokoh agama. Mereka dipukul, ditelanjangi, dipaksa mengaku terlibat
separatisme. Padahal mereka hanya ingin hidup damai di tanah mereka sendiri.
Sejak kapan ingin hidup damai menjadi tindakan kriminal?
Tragedi
Wasior dan Wamena menelanjangi wajah kolonialisme dalam negeri. Kita, yang
menyebut diri bangsa merdeka, masih menindas bagian dari diri kita sendiri.
Ketika warga Papua dibantai atas nama stabilitas, maka yang dipertahankan bukan
kesatuan, tapi ilusi kekuasaan. Ini bukan sekadar pelanggaran HAM. Ini
peristiwa sistemik yang mengoyak nilai kemanusiaan dan memperlihatkan bagaimana
negara bisa berubah menjadi mesin pemusnah ketika takut kehilangan kendali.
Pemerintah
memang sempat memberikan "kompensasi" kepada beberapa korban. Tapi
uang bukanlah keadilan. Ia tidak menghidupkan yang mati, tidak menghapus
trauma, dan tidak mengadili pelaku. Yang lebih tragis, para aparat yang diduga
terlibat tidak hanya bebas, tapi beberapa justru diberi penghargaan atau
promosi jabatan. Bukannya ada pengadilan HAM yang transparan dan menyeluruh,
yang ada justru pembungkaman lebih dalam: media dibatasi, aktivis dituduh
makar, dan korban diminta melupakan.
Sebagai
perempuan biasa, aku tidak punya kekuasaan untuk mengubah sistem. Tapi aku
punya empati. Saat melihat gambar anak-anak Papua menggambar rumah terbakar dan
ibu mereka ditembak, aku tahu ini bukan sekadar konflik politik atau urusan
keamanan nasional. Ini tragedi manusia. Dan tragedi manusia adalah urusan semua
orang. Tak perlu menjadi aktivis untuk mengutuk ketidakadilan. Cukup menjadi
manusia.
Laporan
demi laporan telah dirilis. Komnas HAM, LSM internasional, dan organisasi
keagamaan sudah berbicara. Tapi negara tetap tuli. Yang diubah hanyalah istilah
dari "operasi militer" menjadi "pengamanan daerah."
Sementara di lapangan, warga Papua tetap hidup dalam bayang-bayang. Sekolah
penuh ketakutan, rumah ibadah dijaga tentara, dan setiap kerumunan dianggap
potensi pemberontakan. Papua menjadi tempat di mana kehidupan sipil
terus-menerus diintervensi dengan pendekatan militeristik.
Dan
ironi paling getir adalah ini: Papua disebut sebagai bagian tak terpisahkan
dari Indonesia, namun diperlakukan seolah bukan bagian dari keluarga bangsa.
Jika memang Papua adalah saudara, mengapa yang mereka dapatkan adalah curiga,
bukan cinta? Jika tanah mereka adalah tanah kita, mengapa kita membiarkan
tubuh-tubuh mereka dibungkam tanpa nama dan tanpa keadilan?
“Kalau
tanah Papua adalah bagian dari Indonesia, kenapa mereka diperlakukan seperti
bukan manusia?” Pertanyaan itu tidak bisa dijawab dengan slogan, tetapi dengan
keberanian negara untuk melihat luka, mengaku salah, dan bertindak. Karena
selama keadilan belum tegak di Papua, Indonesia belum sepenuhnya Merdeka dan
sejarah akan terus menuntut kita untuk jujur.
Tragedi
Kanjuruhan (2022)
Hari itu
seharusnya menjadi malam yang penuh sorak. Stadion Kanjuruhan bersinar terang,
ribuan suporter datang dengan jersey dan harapan. Anak-anak digendong ayahnya,
ibu-ibu membawa bekal kecil, dan remaja bernyanyi dengan dada membuncah. Tapi
sorak-sorai itu berubah menjadi jerit, menjadi desah nafas terakhir yang
tertahan gas air mata. Dalam sekejap, tribun menjadi liang kematian. Sebanyak
135 jiwa terenggut, bukan karena bencana alam, bukan karena perang, tapi karena
negara gagal melindungi rakyatnya dalam sebuah pertandingan sepak bola.
Aku hanya
menonton dari layar kaca. Tapi nyeri itu nyata. Ketika aku melihat seorang ibu
menggendong anaknya yang kaku dan biru. Ketika tubuh-tubuh diseret di lorong
sempit yang semestinya jadi jalur evakuasi. Ketika gas air mata ditembakkan ke
tribun tertutup, padahal itu adalah pelanggaran keras terhadap protokol FIFA.
Tapi di negeri ini, apa artinya protokol jika nyawa rakyat selalu kalah penting
dibanding ego aparat dan gengsi lembaga?
Pengadilan
memang digelar. Tapi seperti biasa, hanya beberapa nama kecil yang dijadikan
tameng. Polisi bawahan, petugas pintu stadion, panitia lapangan. Sedangkan yang
berdiri di pucuk komando? Bebas. Kapolda dilindungi, menteri olahraga tak
tersentuh, Presiden hanya menyampaikan duka dengan nada birokratis. Tidak ada
rasa malu di wajah negara, seolah-olah tragedi ini hanyalah cacat kecil dalam
kalender, bukan darah yang mengalir di jalan pulang para suporter.
Aku
membayangkan: bagaimana jika keluargaku ada di sana? Ia memohon izin untuk
nonton bola. Lalu yang pulang bukan soraknya, tapi jasadnya. Apa cukup hanya
dengan karangan bunga dan permintaan maaf? Tidak. Yang kami butuhkan adalah
keadilan, bukan basa-basi politik. Tapi di negeri ini, keadilan terlalu sering
ditukar dengan perdamaian palsu, diselimuti waktu hingga luka itu dipaksa
kering meski nanahnya belum berhenti mengalir.
Tragedi
Kanjuruhan membuka satu kenyataan pahit: bahkan di ruang hiburan, kami tidak
aman. Stadion, tempat di mana tawa dan semangat harusnya berkumpul, bisa
berubah jadi kuburan massal dalam hitungan menit. Dan saat rakyat bertanya,
negara lebih sibuk menyusun narasi pengalihan daripada mendengar suara duka.
Bahkan investigasi tak lepas dari tekanan, rekaman hilang, saksi dibungkam, dan
kita semua diajak percaya bahwa ini hanyalah "kesalahan prosedur."
Sebagai
rakyat biasa, kami tak meminta banyak. Bukan stadion baru. Bukan patung
peringatan. Yang kami minta hanyalah pengakuan bahwa nyawa kami bernilai, bahwa
suara kami pantas didengar, dan bahwa tidak ada aparat yang lebih sakti
daripada konstitusi. Tapi sepertinya itu terlalu mahal di negeri ini, tempat di
mana hidup rakyat bisa diukur dari pos anggaran dan perhatian publik yang cepat
lupa.
Kanjuruhan
menjadi bukti bahwa kekerasan bisa hadir dalam bentuk yang paling terang,
paling bising, dan paling terlihat, namun tetap tidak dianggap kejahatan.
Seakan-akan sorak ribuan orang bisa menutupi dentuman maut, dan tribun yang
kosong bisa dijadikan dalih untuk membersihkan jejak. Hukum berdiri di tengah
lapangan, tapi tak berani meniup peluit pelanggaran.
Maka kami
hanya bisa berkata: “Keadilan di negeri ini terlalu sering seperti tribun
kosong: hanya gemanya yang terdengar.” Tidak ada langkah kaki menuju
penyelesaian, hanya gema-gema janji yang memantul tanpa arah. Dan selama negara
lebih sibuk menjaga citra daripada merawat luka, maka tragedi seperti
Kanjuruhan bukan yang terakhir, melainkan peringatan yang tak didengar.
Kasus
Rempang (2023)
Rempang,
sebuah pulau kecil yang dulu jarang terdengar, tiba-tiba menjadi sorotan karena
satu hal: tanahnya diinginkan, warganya dianggap penghalang. Pemerintah datang
membawa rencana besar: “Rempang Eco-City,” proyek ambisius hasil kolaborasi
dengan investor asing. Di atas kertas, ia menjanjikan kemajuan, lapangan kerja,
dan pertumbuhan ekonomi. Tapi di tanah yang sama, yang terjadi justru
pemaksaan, kekerasan, dan pemutusan akar kehidupan ribuan keluarga. Di manakah
letak “eco” dan “city” jika anak-anak dikejar gas air mata di sekolah mereka?
Ibu-ibu di
Rempang memeluk anak mereka yang gemetar. Rumah-rumah dijaga aparat, suara
mesin alat berat menggantikan suara ombak. Anak-anak tak lagi belajar tentang
laut, melainkan tentang cara berlari dari intimidasi. Pemerintah bilang, ini
demi masa depan. Tapi masa depan siapa? Mereka yang tinggal di gedung kaca?
Atau warga pesisir yang sejak kecil menggantungkan hidup pada laut dan
tanahnya? Di mata kekuasaan, tampaknya rumah kami tak lebih dari titik
koordinat di peta proyek.
Aku
menyaksikan video seorang anak yang tak bisa bicara selama berhari-hari setelah
sekolahnya diserbu. Matanya kosong, tubuhnya mengejang jika mendengar suara
keras. Aku bayangkan itu adikku. Dan aku tahu, sebagai orang biasa, tak ada
yang bisa kulakukan kecuali memeluk dan berdoa. Karena negara tak melihat kami
sebagai manusia. Kami hanyalah "penduduk terdampak" dalam
dokumen-dokumen investasi. Kami adalah statistik yang bisa digeser demi rencana
yang sudah diteken di meja makan pejabat.
Di media
sosial, pemerintah berupaya keras menjual citra: spanduk “Rempang Eco-City”
dipoles dengan istilah modern, video promosi dibuat dengan drone dan musik
optimistis. Tapi tidak ada satu pun video yang memperlihatkan bagaimana laut
itu menjadi bagian dari ritual warga, bagaimana hutan itu menjadi tempat
ziarah, bagaimana rumah yang ingin digusur itu adalah warisan tujuh generasi.
Investor menyebutnya lahan kosong. Kami menyebutnya rumah. Tapi siapa yang
didengar oleh negara?
Ketika
warga menolak dan memeluk tanahnya, aparat datang dengan dalih “mengamankan
situasi.” Beberapa ditangkap. Sebagian dikriminalisasi. Media menyebutnya
“kericuhan,” padahal itu adalah bentuk terakhir dari perlawanan orang-orang
yang tidak punya kuasa. Di negeri ini, tangis warga bisa dikalahkan oleh
proposal proyek. Dan kemajuan lebih sering dibela daripada kemanusiaan.
Aku
bertanya dalam hati: jika negara ini dibangun atas nama rakyat, mengapa ia
lebih sibuk melayani investor daripada mendengarkan jerit bayi yang tak bisa
menyusu karena ibunya trauma? Apakah republik ini masih milik kami? Atau sudah
dijual lembar demi lembar kepada pemodal, sampai tak ada lagi ruang untuk kami
berdiri tanpa izin?
Rempang
bukan sekadar konflik agraria. Ia adalah cermin retak dari arah pembangunan
kita. Ketika tanah adat bisa diubah jadi kawasan industri dengan satu
tandatangan, ketika nilai hidup warga kalah dari nilai investasi, maka kita
sedang menggali lubang untuk masa depan yang rapuh. Pembangunan yang membakar
akar akan tumbuh tanpa jiwa. Dan jiwa itulah yang sedang dicabut dari Rempang.
“Apa guna
negara jika ia hanya menjamin hak hidup investor, tapi tidak menjamin air susu
anak kami?” Sebuah negara seharusnya berdiri di tengah, bukan membela satu
sisi. Tapi Rempang membuktikan: ketika uang bicara, nyawa bisa dibungkam. Maka
satu-satunya harapan kami tinggal pada ingatan rakyat agar tragedi ini tak
terkubur dalam nama proyek yang terlalu mewah untuk menampung air mata.
Misteri
2024–2025: Luka Terbaru yang Tak Dituntaskan
Tahun-tahun
ini, negeri ini tampak sibuk menepuk-nepuk bahunya sendiri. Jalan tol baru
dibuka, konser musisi dunia ramai disambut, debat capres disiarkan ke seluruh
penjuru, dan teknologi disebut-sebut sebagai wajah masa depan. Tapi di balik
gegap gempita itu, ada deretan nama yang perlahan memudar dari ingatan publik.
Aktivis lingkungan yang hilang di Kalimantan karena menolak tambang nikel,
wartawan perempuan yang diintimidasi karena membongkar korupsi di lingkar
kekuasaan, remaja Papua yang ditembak karena salah sasaran, semuanya tercecer
di tepi sejarah, tak sempat masuk ke dalam pasal hukum.
Kita hidup
di era di mana penderitaan hanya perlu trending selama dua hari, lalu hilang
ditelan gelombang konten baru. Semua tragedi tampak sementara, semua luka
menjadi cerita yang tidak selesai. Negara tidak membantah, tapi juga tidak
hadir. Ia hanya memberi kita diam. Dan diam itu, perlahan, menjelma menjadi
bentuk kekerasan paling halus. Kekerasan yang tidak berdarah, tapi menghapus
nama, memudarkan bukti, dan membiarkan pelaku tetap duduk di ruang kekuasaan
tanpa rasa bersalah.
Pada 2025,
satu kejadian mengguncang nurani yang masih tersisa: seorang guru honorer
dibunuh di ruang kelas karena menegur anak pejabat. Video CCTV sempat beredar,
netizen geram, tapi seperti pola yang sudah terlalu sering kita lihat, video
itu menghilang, pemberitaan diredam, keluarga diberi “uang damai,” dan kasus
pun dikubur. Tidak ada pengadilan, tidak ada penyelesaian. Hanya ada sunyi yang
dipelihara agar semua tampak normal. Di negeri ini, ingatan bisa dibeli, dan
kebenaran bisa ditutup dengan cek bersampul rapi.
Tragedi
demi tragedi berjalan beriringan dengan rutinitas pemerintahan. Rapat-rapat
terus digelar, pidato tentang kemajuan terus diperdengarkan, tapi tidak satu
pun menyebut luka rakyat. Negara begitu rajin merawat citra, tapi malas merawat
keadilan. Kita diberi ilusi bahwa sistem sedang bekerja, tapi hasilnya tak
pernah bisa kita lihat. Yang terlihat hanya nama-nama korban yang menjadi
angka, dan angka yang menjadi statistik.
Sebagai
perempuan biasa, aku hanya bisa membaca semua ini dari layar ponsel, di sela
waktu mengaduk kopi atau berbaring scrool social media. Tapi dalam hati, aku
menyimpan amarah yang tak selesai. Aku bertanya: sampai kapan kita hidup dalam
negara yang begitu rajin menutup luka, tapi tak pernah benar-benar
mengobatinya? Sampai kapan kita akan mencatat nama demi nama korban, tanpa
pernah bisa menuliskan satu kata penting: selesai?
Negeri ini
tampaknya telah membentuk pola. Pola di mana korban selalu lebih banyak
daripada pelaku yang dihukum. Di mana pelanggaran selalu diikuti dengan
pengalihan isu. Di mana rakyat yang bersuara dianggap mengganggu stabilitas.
Dan dalam pola ini, kita diajari diam. Diajari lupa. Diajari untuk menganggap
ketidakadilan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Tapi kita
tidak seharusnya terbiasa. Tidak seharusnya tenang saat ketidakadilan berdiri
tepat di depan pintu rumah. Ketika seorang guru dibunuh dan negara memilih
diam, ketika seorang anak Papua ditembak dan hanya diberi maaf dari mikrofon,
kita tahu bahwa luka ini bukan hanya luka korban, tapi luka bangsa yang sedang
kehilangan akal sehat dan hati nuraninya.
Kita terlalu terbiasa menyaksikan ketidakadilan hingga lupa bahwa yang tidak adil seharusnya dilawan, bukan diterima. Mungkin kita hanya rakyat kecil. Tapi selama masih ada yang menulis, masih ada yang mencatat, masih ada yang bertanya, maka kekuasaan belum bisa memonopoli kebenaran. Karena sejarah bukan hanya milik mereka yang berkuasa. Ia juga milik kita yang menolak lupa.
Negeri
yang Tak Hafal Lukanya
Aku bukan
siapa-siapa. Tapi aku tahu bahwa negeri ini menyimpan terlalu banyak rahasia.
Terlalu banyak nama yang hilang dalam diam. Terlalu banyak kebenaran yang dibungkus
dalam eufemisme seperti “isu sensitif,” “stabilitas nasional,” atau
“kepentingan pembangunan.” Padahal semua itu hanya cara lain untuk berkata:
“kami tidak peduli.”
Sebagai
perempuan biasa, aku menulis ini bukan untuk menjadi pahlawan. Aku hanya ingin
mencatat. Agar kelak, ketika anak-anakku bertanya, aku bisa menjawab: “Ibu
tidak diam.” Karena dalam sejarah, yang diam sama bersalahnya dengan yang
menindas. Dan aku tak ingin menjadi bagian dari kejahatan itu.
Negeri ini
tidak kekurangan korban. Yang kurang hanyalah keberanian untuk membela mereka
setelah mereka mati. Kita terlalu sering memuja pahlawan yang gugur, tapi
mengabaikan perjuangan mereka saat masih bernyawa. Kita terlalu pandai berduka,
tapi terlalu malas untuk bertindak.
Aku tahu
tulisan ini tak akan mengubah dunia. Tapi mungkin, ia bisa menjadi nyala kecil
di antara gelap yang dibuat sistematis. Karena dalam dunia yang penuh tipu
daya, mengingat adalah bentuk perlawanan. Dan menuliskan luka adalah cara untuk
menolak mati pelan-pelan.
Maka aku
meminta, bukan sebagai aktivis, bukan sebagai akademisi, tapi sebagai manusia
biasa, agar negara berhenti berpura-pura lupa. Sudah terlalu lama kita dikubur
dalam propaganda, dibungkam oleh eufemisme birokrasi, dan disesatkan oleh
narasi tunggal yang nyaman bagi penguasa tapi menyakitkan bagi korban. Keadilan
tidak akan datang dari undang-undang jika undang-undang ditulis oleh
tangan-tangan yang takut pada sejarahnya sendiri.
Sejarah
tidak akan menunggu kita untuk nyaman. Sejarah menagih keberanian, dan keadilan
bukan soal waktu, tapi soal pilihan. Maka pilihlah untuk berpihak pada yang
selama ini diabaikan. Telinga penguasa harus belajar mendengar tanpa seleksi.
Dan mata hukum harus belajar melihat tanpa takut.
“Sebuah
bangsa yang takut pada kebenarannya sendiri adalah bangsa yang mengundang
kejatuhannya.”
“Lalu,
kasus apa lagi yang akan dibiarkan hilang begitu saja ke depannya?”
Komentar
Posting Komentar