Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2025

Negara yang Tak Hafal Luka: Misteri-Misteri yang Ditinggalkan Sejarah dan Diteriakkan Perempuan Biasa

Aku bukan aktivis, bukan akademisi, bukan orang yang tampil di layar debat politik. Aku hanya perempuan biasa, yang hidup dalam ritme dapur, kasur, dan layar ponsel yang lebih sering menampilkan hiburan daripada kebenaran. Tapi dari sudut sunyi kamar inilah, aku menyusun potongan demi potongan luka negeri. Bukan karena aku pintar, tapi karena aku punya mata dan hati yang tak bisa menutup diri dari jerit yang tak pernah dijawab. Negeri ini pandai membuat slogan, tapi gagap saat ditanya: siapa pembunuh Munir? Di mana Wiji Thukul? Siapa penembak di Semanggi? Mengapa jenazah di Kanjuruhan hanya dihitung, tapi tak dihargai? Ketika negara tidak hafal lukanya sendiri, maka sejarah bukan jalan untuk belajar, melainkan labirin pengulangan yang menyakitkan. Aku menyusun narasi ini bukan karena tahu semuanya. Tapi karena aku muak menjadi penonton. Setiap luka yang didiamkan adalah api kecil yang dibiarkan menyala dalam diam. Dan kita, rakyat kecil, hidup dalam rumah-rumah rapuh yang bisa terb...

Menggugat Dunia yang Tidak Pernah Netral

Kita hidup dalam dunia yang menyusun peta kekuasaan bukan berdasarkan potensi manusia, tapi berdasarkan jenis kelamin. Dunia tidak lahir netral, ia dibentuk oleh tafsir budaya, tafsir agama, tafsir sejarah yang hampir seluruhnya ditulis oleh laki-laki, untuk laki-laki, dengan standar laki-laki. Dalam dunia ini, perempuan bukan hanya tidak diutamakan, tapi bahkan tidak dianggap sebagai subjek penuh. Mereka dibungkam oleh adat, didiamkan oleh kebijakan, dan dijinakkan oleh sistem pendidikan yang memuliakan ketundukan sebagai kebajikan utama. “Representasi dunia, sebagaimana dunia itu sendiri, adalah hasil karya laki-laki; mereka menggambarkannya dari sudut pandang mereka sendiri, lalu menyebutnya sebagai kebenaran mutlak.” - Simone de Beauvoir UNDP (2024) mencatat bahwa indeks ketimpangan gender Indonesia masih tinggi dibanding negara-negara lain di Asia Tenggara. Perempuan mendominasi angka putus sekolah, memiliki akses terbatas terhadap pekerjaan formal, dan menjadi korban kekera...

Membedah Akar, Bukan Sekadar Luka: Saatnya Mengganti Kompas Moral Bangsa

Hampir 80 tahun Indonesia merdeka, tetapi ada satu bentuk penjajahan yang tidak pernah benar-benar pergi: KORUPSI. Ia tidak datang dari luar, tidak membawa senjata, tidak mengibarkan bendera asing. Korupsi tumbuh di dalam tubuh bangsa sendiri, menyusup lewat celah jabatan, proyek, prosedur, dan budaya diam yang mengakar. Ini bukan sekadar persoalan hukum, tetapi persoalan peradaban. Bangsa yang dulu berjuang dengan darah untuk kemerdekaan kini dijual secara diam-diam oleh anak bangsanya sendiri. "Korupsi bukan hanya masalah hukum, tapi soal peradaban." - Anies Baswedan Saatnya kita tidak hanya mengobati luka yang tampak di permukaan, tetapi juga menggali hingga ke akar penyebabnya. Kita harus melihat korupsi sebagai sebuah ekosistem yang rusak, tempat nilai-nilai dasar bangsa kita tergantikan oleh keserakahan dan kepentingan jangka pendek. Korupsi tidak akan pernah bisa diberantas jika kita hanya sibuk menambal permukaannya tanpa berani menyentuh fondasi yang telah retak...

Indonesia: Surga yang Luka, Tanah yang Menangis

Indonesia adalah negeri yang diberkahi dengan segala bentuk kekayaan alam, laut, hutan, tambang, gunung, dan tanah yang subur. Para pujangga menyebutnya "tanah surga yang jatuh ke bumi" . Namun, dalam bayang-bayang kemegahan itu, kita menyaksikan ironi yang menyakitkan: negeri yang dulu dipuja karena keindahan alaminya, kini perlahan-lahan runtuh dalam luka ekologis yang diciptakan oleh tangan-tangan manusia sendiri. Bumi kita bukan sekadar diam, ia sedang memberikan peringatan. Peringatan melalui banjir yang datang tiba-tiba, tanah longsor di wilayah perbukitan, udara penuh asap di musim kemarau, hingga panas yang membuat tanah pecah dan tak bisa ditanami. Semua ini bukan lagi kebetulan atau siklus alam biasa, melainkan tanda dari eksploitasi yang brutal dan tata kelola yang tak adil. “Kerusakan lingkungan adalah bentuk kekerasan yang paling sunyi.” -  Ngugi wa Thiong’o Mari kita bedah luka-luka ini satu per satu. Bukan untuk mengutuk masa lalu, tetapi untuk menyalakan...

Dari Gotong Royong ke Gontok-gontokan: Transformasi Sosial dan Erosi Empati di Masyarakat Modern

Pagi itu, langit desa masih berselimut kabut tipis. Suara ayam bersahutan, pintu-pintu kayu berderit, dan aroma kopi hitam mengepul dari cangkir-cangkir yang tak terburu-buru. Seorang ibu menanak nasi sambil berbagi cerita dengan tetangganya di dapur belakang. Di sawah, dua lelaki yang tak sedarah memanggul cangkul dan tawa yang sama ringannya. Tak ada perjanjian tertulis, tapi setiap orang tahu perannya. Di sana, gotong royong bukan jargon di baliho, ia adalah napas yang menghidupkan kampung. Namun kini, napas itu mulai sesak di hiruk-pikuk zaman. Kini, pemandangan itu perlahan menghilang. Kota tumbuh tinggi, jalan diperlebar, teknologi menembus batas, tapi rasa antar manusia justru terasa menyempit. Kita hidup berdekatan secara fisik, tapi berjauhan secara hati. Kita tahu banyak tentang dunia, tapi makin sedikit tahu tentang tetangga kita sendiri. Erosi Rasa di Tengah Kemajuan Modernitas menawarkan kecepatan, efisiensi, dan mobilitas. Tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang p...

Menjadi Indonesia di Era Serba Instan: Saat Kita Sibuk Menjadi Siapa, dan Lupa Siapa Kita

“Orang yang tidak mengetahui dari mana ia berasal, akan sulit menentukan ke mana ia akan pergi.” – Bung Hatta Di zaman ini, menjadi bagian dari dunia seolah berarti melebur ke dalam kecepatan, popularitas, dan pengakuan digital. Kita hidup dalam dunia yang tidak pernah tidur, setiap detik ada yang diperbarui, ditampilkan, dikomentari. Tapi di tengah keriuhan itu, ada sesuatu yang perlahan lenyap: kesadaran akan siapa diri kita sebagai bangsa. Krisis identitas ini bukan sekadar persoalan adat yang dilupakan atau bahasa daerah yang menghilang. Ini tentang bagaimana nilai-nilai lokal yang pernah menjadi kompas hidup bangsa kini ditukar dengan algoritma dan tren yang terus berubah. Apa artinya menjadi Indonesia, jika yang kita ikuti hanyalah apa yang sedang viral? “Mappoji gau’na, nasaba’ jaga siri’na.” (Berbuat benar demi menjaga harga diri.) – Pepatah Bugis Makassar Kita terbiasa diajari bagaimana bersaing, bagaimana tampil, bagaimana menang. Tapi jarang kita diajak memahami apa a...