Negara yang Tak Hafal Luka: Misteri-Misteri yang Ditinggalkan Sejarah dan Diteriakkan Perempuan Biasa
Aku bukan aktivis, bukan akademisi, bukan orang yang tampil di layar debat politik. Aku hanya perempuan biasa, yang hidup dalam ritme dapur, kasur, dan layar ponsel yang lebih sering menampilkan hiburan daripada kebenaran. Tapi dari sudut sunyi kamar inilah, aku menyusun potongan demi potongan luka negeri. Bukan karena aku pintar, tapi karena aku punya mata dan hati yang tak bisa menutup diri dari jerit yang tak pernah dijawab. Negeri ini pandai membuat slogan, tapi gagap saat ditanya: siapa pembunuh Munir? Di mana Wiji Thukul? Siapa penembak di Semanggi? Mengapa jenazah di Kanjuruhan hanya dihitung, tapi tak dihargai? Ketika negara tidak hafal lukanya sendiri, maka sejarah bukan jalan untuk belajar, melainkan labirin pengulangan yang menyakitkan. Aku menyusun narasi ini bukan karena tahu semuanya. Tapi karena aku muak menjadi penonton. Setiap luka yang didiamkan adalah api kecil yang dibiarkan menyala dalam diam. Dan kita, rakyat kecil, hidup dalam rumah-rumah rapuh yang bisa terb...